“Nak, bangun
nak! Sebentar lagi sampai loh!”
Huahm. Duh,
siapa sih yang ngebangunin? Lagi
enak-enak tidur juga. Namun,
kupaksakan juga tuk membuka mata. Mentari sudah berseri-seri. Kutaksir saat itu
sudah sekitar jam delapan pagi. Tapi kok aku masih ngantuk banget ya? Aneh.
”Sekarang jam berapa? Jam delapan ya?”
Suara berat ayah yang tadi membangunkanku kembali terdengar.
”Jam enam waktu
Yogya, jam delapan waktu Sorong.”
Oh, gitu. Pantas aku masih ngantuk.
Ayah nih suka ngelucu aja. Aku kan nanya jam di sini, di Yogya, bukan di
So... Eh?!
”HAH? SORONG??! Kita lagi di Sorong??!”
Teriakanku kontan membuat seisi bus menoleh. Tatapan galak, bingung, dan
iba semuanya terpusat ke arahku. Terang saja, anak
gadis teriak-teriak di bus pagi-pagi gini?!
Gadis gak waras itu mah.
”Ssst! Jangan berisik! Kamu lupa kita lagi
pindahan ke Sorong?”
Pindahan? Sorong? Otakku yang masih dingin ku paksa untuk bekerja lebih
keras. Oh! Aku ingat! Aku dan ayah sedang dalam perjalanan menuju Sorong. Ayah
mendapat tawaran kerja dari sebuah
perusahaan minyak di kota minyak ini. Kehidupan di Yogya yang kian tak menentu
membuat ayah dan aku terpaksa berangkat ke Sorong untuk mengadu nasib.
Meninggalkan nisan ibu di Yogya.
”Oh iya, ya. Lali aku. Hehehe,”
jawabku sambil cengegesan. Tak lama
kemudian, bis yang kutumpangi berhenti di sebuah mal. Gedung baru berlantai tiga ini sangat berbeda dari
bayanganku akan mal di Sorong. Pikirku, mal di daerah Papua Barat yang notabene
jauh dari ibukota Indonesia pastilah kumuh, kotor, dan tak terawat. Namun, semua bayangan itu langsung lenyap
ketika aku melihat Ramayana Mal Sorong ini.
”Ajeng, masuk dulu yuk. Temen ayah baru bisa nganter kita ke kontrakan jam
sepuluh nanti,” tegur ayah.
Kulirik jam di tanganku. Jam tujuh...WIB. Sambil berjalan mengikuti ayah
memasuki mal yang baru saja buka, ku putar sekrup jam tanganku hingga jarum
pendeknya menyentuh angka sembilan.
BRUK!
”HEI ! Kalo jalan lihat-lihat
dong! Mentang-mentang korang putih
dan kitorang hitam, lantas kitorang tak dianggap,” amuk seorang
lelaki yang tak sengaja kutabrak. Loh, kok jadi bawa-bawa suku gini sih? Ya,
warna kulit remaja ini memang agak gelap, khas suku Papua. Rambutnya yang
keriting pendek dan matanya yang hitam pekat meyakinkanku bahwa orang ini
benar-benar penduduk asli sini. Dari tinggi dan perawakannya, nampaknya kami
seumuran.
”Ma... Maaf. Maaf banget. Aku gak sengaja. Kamu gak terluka kan?”
”Sudah, sudah. Aku ini laki, tau! Lain kali, lihat-lihat kalau jalan!”
Ia pun segera beranjak pergi. Eh, aku lupa menanyakan namanya! Tapi, kayaknya dia lagi buru-buru. Mungkin di
lain kesempatan kami akan berjumpa lagi.
”Ajeng! Kamu ngapain bengong aja di sana? Ayah tungguin juga. Ayo
lekas kemari!” panggil ayah dari toko peralatan elektronik tak jauh di depanku.
Aku pun segera menyusul ayah.
~~
Aku menaiki angkot yang disebut penduduk setempat dengan taksi. Sudah
seminggu ini aku tidak diijinkan keluar rumah oleh ayah. Hanya ayah yang boleh
keluar rumah untuk membeli makanan dan bergaul dengan tetangga. Kata ayah, anak
gadis sebaiknya di rumah saja. Nanti kalau sudah masuk sekolah dan kenal banyak
orang baru boleh keluar rumah. Huh, aku kan bosan! Karena itu hari ini aku mau
jalan-jalan ke Ramayana Mal Sorong, satu-satunya tempat yang kuketahui. Sebelum
masuk ke mal, ku putuskan untuk makan di warung yang terletak tak jauh dari
mal. Wah, menu makanannya familiar, khas jawa. Sempat kukira aku akan disuguhi
cacing cah ilalang atau bakwan semut-belalang. Iiihhh, emoh! Kuputuskan untuk memesan sepiring nasi dengan lauk capcai.
Tadinya aku mau pesan nasi dengan fuyunghai dan ayam goreng. Tapi, uang yang
kubawa pas-pasan, cuma dua puluh ribu. Kupikir, nasi capcai pasti lebih murah.
Selesai makan, aku memanggil mbak-mbak yang menjaga warung itu.
”Mbak, semuanya jadi berapa ya?”
”Semuanya empat puluh lima ribu, kakak,” sahutnya dengan santai.
Puk. Kurasakan sebentuk tangan menepuk pundak kananku. Dibelakangku, tampak
seorang lelaki muda berkacamata pemilik tangan itu. Tampaknya, dia ini seorang
kutu buku yang cerdas.
”Uangnya kurang ya?” tanyanya ramah. Tanpa menunggu jawabku, ia menyodorkan
selembar uang lima puluh ribuan kepada mbak penjaga warung yang masih menatapku
tanpa suara. Aku masih mematung, tak menyangka bisa mendapat mukjizat di siang
bolong seperti ini.
”Hei! Kamu! Kok bengong aja sih? HEI !
SADAR!” ujarnya sambil menguncang-guncang tubuhku.
”Eh, iya, iya. Aku masih hidup kok. Makasih ya, makasih banyak! Aku pasti
ganti uang kamu besok! Besok kita ketemu lagi ya di sini jam sepuluh!” cerocosku buru-buru, takut ia mengiraku
gadis tak tahu diri yang sukanya gratisan.
”Tenang, tenang! Gak usah buru-buru balikinnya, santai aja. Ngomong-ngomong, nama kamu siapa? Aku Gunardi,
Gunardi Wiyanto” tuturnya sambil menyodorkan tangan kanannya dengan sopan.
Kusambut uluran tangannya. Tangannya halus dan hangat, sehalus perilakunya dan
sehangat senyumnya.
”Aku Ajeng Setiadinata, panggil Ajeng saja.”
”Ajeng. Nama yang bagus! Eh, kita ngobrol
di taman aja yuk! Deket kok. Gak enak
juga kan, berdiri di sini lama-lama? Mau gak?”
ajaknya dengan senyum jenaka. Entah terhipnotis apa, aku mengangguk pelan.
~~
Pukul lima kurang sepuluh menit. Tepat waktu. Aku sampai di rumah sebelum
ayah pulang. Aku pun melangkahkan kaki ke kamar, hendak mengambil baju untuk
mandi. Sejenak aku teringat lagi percakapanku dengan Gunardi.
”Kamu pasti orang baru ya?
Kelihatan banget tadi mukamu pucat pasi begitu mendengar
harga makanan di warung,” tanya Gunardi sambil terkikik geli.
”Iya. Aku kaget banget, moso
nasi capcai empat puluh lima ribu?! Waktu di Yogya, di warung depan sekolah
lamaku tepatnya, nasi capcai cuma sepuluh ribu, kok!” jawabku dengan wajah cemberut.
”Ngomong-ngomong soal
sekolah, kamu sekarang kelas berapa? Aku kelas X tahun ini. Sepertinya usia
kita tak berbeda jauh.”
”Aku juga kelas X! Kita
seangkatan rupanya!”
”Oh ya? Kebetulan sekali!
Kamu sekolah di mana?”
”Belum tahu, aku kan baru pindah.
Ayahku yang memilihkanku sekolah. Katanya sih minggu depan sudah
masuk.”
”Semoga kita satu sekolah
ya! Kalau bisa sih, sekelas. Aku ingin sekali sekelas denganmu, Ajeng!”
Ya, aku juga. Siapa sih yang tidak mau sekelas dengan lelaki seramah dan
sejenaka kau, Gunardi? Sambil
tersenyum simpul, aku pun bergegas mandi sore sebelum ayah pulang.
~~
Akhirnya masuk sekolah juga. Hari ini ayah cuti untuk mengantarkanku ke sekolah baruku. Hanya dengan
lima belas menit berjalan kaki, sampailah kami di gerbang sekolah baruku.
”Ayah, aku masuk sendiri aja. Malu ah sama teman-teman yang lain, gak ada yang diantar! Aku kan sudah
besar!”
Ayah yang mulanya bersikeras ingin mengantarku masuk akhirnya luluh juga.
Setelah beribu-ribu wejangan, ia pun membiarkanku masuk sendiri. Aku pun
menelusuri seisi sekolah untuk mencari kelas X4, kelas baruku.
Puk. Sebentuk tangan menepuk pundak kananku. Pasti Gunardi! Dengan semangat
aku berbalik, mengharapkan wajah hitam manis yang dibingkai kacamata kotak itu
menantiku.
”Korang cewek yang waktu itu
tabrak kitorang, bukan? Sedang apa di
sini?”
Uh, bukan Gunardi. Dia kan lelaki yang waktu itu tak sengaja ku tabrak di
mal! Dia juga sekolah di sini?!
”Uh, iya. Aku sekolah di sini. Oh ya, kita belum kenalan kan? Aku Ajeng,
Ajeng Setiadinata. Aku baru pindah dari Yogya,” kuulurkan tangan kananku dengan
sopan, berharap kesan pertama yang buruk itu dapat terhapus.
”Emm, saya Alex,” jawabnya tanpa membalas uluran tanganku. Kutarik lagi
tanganku yang menyalami angin kosong. Dasar tidak sopan!
”Aku kelas X4, kamu kelas berapa? Bisa tolong temenin aku cari kelas gak?”
”Saya juga kelas X4. Kelasnya ada di lantai dua. Ayo ikut!” katanya sambil
menarik tangan kananku. Tangannya kasar, namun bisa kurasakan ketulusannya
menolongku.
Sesampainya di lantai dua, kulihat sesosok orang yang kukenal. Ya, itu dia,
itu Gunardi! Tanpa basa-basi, langsung saja kuhampiri dia. Meninggalkan Alex
yang menatapku tajam dari kejauhan.
~~
Ternyata, aku juga sekelas dengan Gunardi. Senang sekali rasanya bisa
sekelas dengannya. Sayang, bukan dia yang duduk di sebelahku. Yang duduk di
sebelahku selama satu semester ke depan adalah Alex, lelaki dingin yang cuek.
Benar-benar menyebalkan.
”Anak-anak, untuk tugas kali ini kalian harus membuat laporan penelitian
sosial. Boleh tentang apa saja. Untuk pengerjaannya, satu kelompok
berdua-dua...”
Dengan semangat kutolehkan kepala ke arah Gunardi yang ternyata juga
melakukan hal yang sama. Kami sampai terkikik geli sendiri begitu
mengetahuinya.
”Berdua-dua dengan teman sebangku kalian masing-masing!” lanjut Pak Dodi
yang langsung menghentikan tawaku. Sekelompok dengan Alex? Bukan Gunardi? Aku
langsung lesu begitu mendengarnya. Satu jam pelajaran yang diberikan Pak Dodi
untuk membahas tema penelitian malah kugunakan untuk mencorat-coret halaman
terakhir buku tulisku. Tiba-tiba, sebuah tangan berkulit gelap mencengkram kuat
tangan kananku.
”HEI ! APA -APAAN
SIH!” bentaku marah ke arah Alex, cowok yang sudah merenggut segala
kebahagiaanku ini. Untung saja kelas sedang ribut-ributnya. Tak ada seorang pun
yang mempedulikan teriakan brutalku barusan.
”Jangan korang corat-coret terus!
Aku tak mau dapat nilai jelek gara-gara kau! Ayo bahas tema penelitian!”
Dengan terpaksa, aku pun mengiyakan usulan Alex. Aku juga tak mau dapat
nilai jelek hanya karena tak sekelompok dengan Gunardi, oke? Aku masih waras,
kok! Kami pun membahas tema apa yang kira-kira menarik untuk dijadikan laporan
penelitian.
”Gimana kalau tentang pengaruh
Blackberry terhadap prestasi belajar?“ usulku yang langsung disambut gelengan
kepala Alex.
”Kau kira berapa banyak di sini yang pakai Blackberry? Di sini tak seperti
di kota kau. Kau dari Yogya, bukan? Kota besar itu?”
”Ah, tak sebesar itu juga. Mungkin Yogya besar, tapi tak sepadat Jakarta”
”Saya lebih memilih kota besar yang ramah seperti Yogya dibanding Jakarta.”
”Oh ya? Aku juga. Namun kota Sorong juga tak kalah ramah dan meyenangkan
dibanding Yogya,” ucapku jujur. Hmm, ternyata Alex tak sedingin yang
kubayangkan. Kota Sorong benar-benar memberikanku banyak kejutan.
”Lalu, menurutmu tema apa yang cocok untuk laporan penelitian kita?”
sambungku.
”Kalau tentang
perbandingan pengunjung lokal dan asing yang datang ke Pantai Tembok
Berlin gimana?”
“Hah? Tembok Berlin ? Yang ada di
Jerman itu? Jadi kita mesti ke Jerman buat meneliti gitu?. Lagipula, setahuku
tembok itu sudah dirubuhkan sejak lama. Kau ini ada-ada saja Alex . Mau ngelucu
ya?” tuturku panjang lebar.
“Kau tuh yang kuper! Masa sudah tinggal di sini sekian
lama masih nggak tahu kalau di dekat
pantai ada tembok yang namanya Tembok Berlin ?
Tembok segede gitu kau acuhkan saja.
Pantaslah yang kau kenal hanya Gunardi, Gunardi, dan Gunardi..”
Perasaanku saja
atau memang ada nada cemburu saat Alex
menyebut nama Gunardi? Ah, pasti hanya perasaanku saja. Dasar kau ini Ajeng!
Ke-GR-an banget sih jadi orang? Sadar diri dong!
“Oh ya? Aku baru tahu di Sorong juga ada Tembok
Berlin. Di mana letaknya?
Rasanya aku tak pernah melihatnya.”
”Kau selalu melewatinya sewaktu pulang sekolah!”
”Bagaimana kau tahu aku melewatinya sewaktu pulang sekolah? Apakah kamu...”
”Tak!! Saya tak ikuti korang! Kebetulan
saja arah rumah kita sama, hanya saja di perempatan kau belok kanan sedangkan
saya belok kiri! Jangan pikir macam-macam!” jawab Alex gelagapan. Mengapa ia jadi
segugup ini?
”Tapi, mengapa aku tak pernah melihatmu sewaktu berjalan pulang?”
”Bukankah yang ada di pikiran kau hanya Gunardi? Tak pernah bukan kau
perhatikan yang ada di sekelilingmu? Ah, sudahlah. Tak perlu kitorang bahas. Waktu yang diberi untuk
membahas tugas, hendaknya dipakai untuk membahas tugas.”
”Baiklah. Aku setuju dengan usulmu. Tema itu sepertinya menarik. Aku juga
jadi bisa sekalian jalan-jalan di sana. Lantas, kapan kita akan menelitinya?”
”Lebih baik
akhir pekan, banyak pengunjung yang datang. Bagaimana kalau Sabtu ini? Kutunggu kau di sekolah
jam tiga sore.”
”Baiklah.”
Itulah yang terjadi. Dua hari kemudian, kami berjalan menyusuri tepi Pantai
Tembok Berlin yang merupakan tepi ’Kepala Burung Papua’ ini. Apa yang dimaksud
Alex sebagai Tembok Berlin ternyata adalah tembok tebal setinggi pinggang orang
dewasa yang memagari ruas pantai tak kurang dari tiga kilometer. Pantai inilah
dan disebut dengan Pantai Tembok Berlin atau Pantai SepTemBer yang merupakan
singkatan dari ’Pantai Sepanjang Tembok Berlin’. Orang-orang Papua memang
sangat kreatif!
Alex mengajakku untuk duduk di atas tembok, meniru warga setempat yang
sedang melepas penat.
”Ayo, naik kemari! Atau korang
takut? Kalah kau dengan balita di sana!” ujar Alex sambil menunjuk balita yang
sedang mencoba naik ke atas tembok, dibantu ibunya tentu.
”Siapa takut? Lihat saja ini!” Dengan lihai aku melompat ke atas tembok. Hah!
Tak sia-sia dulu aku sering diomelin gara-gara memanjat tembok pembatas dengan
rumah tetangga. Dari sini, nampak birunya langit yang berpadu dengan jernihnya
air laut. Sesekali terdengar tawa renyah anak-anak yang sibuk mencari ikan atau
kerang yang di antara karang. Kapal berukuran besar hingga sampan kecil yang lalu-lalang
semakin memperkaya pemandangan.
”Hei! Udah dulu bengongnya. Sekarang ayo kita mulai penelitiannya! Kau
hitung wisatawan asing, saya hitung pengunjung lokal. Nanti ketemu lagi di sini
jam setengah lima ya!” kata Alex sambil berlari ke menjauhiku. Aku pun ikut
berlari, namun ke arah yang berlawanan dengannya.
~~
Tak terasa sudah satu jam aku mengelilingi pantai ini. Pukul 16.20 WIT . Saatnya aku kembali ke Tembok Berlin untuk
menggabungkan hasil pengamatanku dengan hasil milik Alex. Dari kejauhan,
kulihat Alex sedang duduk di atas Tembok Berlin. Kupercepat langkahku yang
sedari tadi sengaja kuperlambat.
”Hei, Alex! Sudah lama?” sapaku bersemangat. Semilir angin sore rupanya
telah memompa semangatku.
”Baru sampai. Gimana pengamatannya?
Lancar?”
”Lancar dong! Ternyata, banyak juga wisatawan asing
yang datang kemari! Banyak dari mereka yang memuji keindahan alami pantai ini.
Namun, mereka juga berharap agar kebersihan pantai lebih dijaga. Masih banyak
sampah berserakan, kata mereka. Sayang, pantai seindah ini tidak mendapat
perhatian khusus dari pemerintah.,” jawabku jujur.
“Ya, memang
begitu keadaannya sedari dulu. Yang diperhatikan hanya pulau Jawa dan Bali . Padahal kan Indonesia lebih
kaya dari itu. Sudahlah, tak perlu kitorang
bahas sekarang. Nanti saja kalau kitorang
sudah jadi orang besar yang punya kuasa. Lebih baik sekarang kitorang bahas hasil penelitian ini.
Bahas sambil makan di warung sana ,
bagaimana?” ajaknya yang langsung ku sambut dengan anggukan mantap.
~~
Delapan puluh lima. Nilai tertinggi di kelas. Itulah nilai yang diberikan
Pak Dodi kepadaku dan Alex. Tak henti-hentinya aku berseri sepanjang hari bila
mengingat nilai kerja kelompok pertama kami itu. Kelompok
yang awalnya ku benci setegah mati. Bel istirahat berdenting nyaring. Seperti
biasa, aku mengeluarkan bekal yang telah disiapkan oleh ayah tadi pagi. Nasi
dengan lauk ikan goreng yang menggugah selera.
“Hei Ajeng! Makan nasi dan ikan goreng juga ya? Sama dong! Sepertinya kita memang
berjodoh ya? Seperti yang di lagunya Anang-Arshanty itu loh.. Hahaha..,” ujar
sebuah suara seraya menepuk pundak kiriku. Siapa sih yang mengaku-aku berjodoh
denganku? Kutolehkan kepala ke arah sumber suara, yang kuduga adalah anak
lelaki jahil yang duduk di deretan bangku belakang. Betapa terkejutnya aku
ketika mengetahui si empunya suara tak lain dan tak bukan adalah Gunardi!
”Eh, Gunardi! Tumben makan di kelas. Bukannya kamu biasanya makan di
kantin?” kucoba untuk menyapanya sesopan mungkin walau sudut hatiku
mencurigainya. Tak biasanya Gunardi seperti ini, ia seperti orang baru yang tak
kukenal. Atau memang aku tak pernah benar-benar mengenalnya?
”Masa gak boleh sih aku makan bareng Ajeng yang cantik mempesona ini?
Ijinkan aku duduk mendampingimu makan ya, permaisuriku,” ujarnya seraya duduk
di kursi Alex yang sedang kosong. Gunardi sedang kerasukan setan apa sih? Kok
jadi aneh gini? Refleks aku menggeser kursiku menjauhinya. Seketika itu juga
nasi dengan lauk ikan gorengku tampak menjijikan.
”Maaf, aku ke toilet dulu ya!”
Dengan kilat aku berlari menuju toilet. Ke toilet sebenarnya hanyalah alibi
untuk menghindariku duduk lebih lama di samping Gunardi. Aku bisa memuntahkan
seisi perutku jika mendengar gombalannya sekali lagi. Untung toilet sedang
kosong, langsung saja aku mengunci diri dalam bilik pertama yang kulihat. Selang
beberapa menit kemudian, kudengar langkah kaki segerombolan anak yang sedang
berjalan mendekat. Ah, paling gerombolan anak perempuan yang ingin merapikan
penampilannya. Tapi, kok suaranya berat ya? Kuintip keadaan di luar lewat celah
di bawah pintu. Terlihat berpasang-pasang sepatu anak lelaki. Kok mereka masuk
toilet perempuan? Atau jangan-jangan, aku yang salah masuk toilet! Kuperhatikan
keadaan di sekelilingku. Tampak bilik yang kotor dan penuh coretan yang
seingatku tak ada di bilik toilet perempuan. Benar saja, aku salah masuk
toilet!!
”Gimana tadi, berhasil gak PDKT-nya?”
Uh, ternyata seperti ini perbincangan anak lelaki ketika berada di toilet.
Tak berbeda jauh dengan pembicaraan anak perempuan rupanya. Hanya seputar PDKT,
pacaran, dan putus.
”Berhasil apanya?! Saranmu malah membuat aku tambah jauh darinya! Buktinya
dia sekarang dia kabur ke toilet dan gak balik-balik,”
balas sebuah suara yang terdengar familiar di telingaku. Suara siapa ya? Hmm,
coba ku ingat-ingat. Suara Alex sepertinya bukan, suara Alex lebih nyaring dan
lebih berlogat. Jangan-jangan ini suara Gunardi! Jadi dia sedang melancarkan
aksi PDKT terhadapku? Aduh, jawaban apa yang akan kuberi jika nanti ia
menyatakan perasaannya kepadaku ya? Anganku menerawang jauh. Andai saja ia tak
meggodaku seperti tadi dan bersikap biasa, pasti akan lebih mudah bagiku untuk
memberikan jawaban. Namun, bagaimana nasib Alex? Hei! Mengapa aku memikirkan
Alex? Aku kan tidak ada hubungan apa-apa dengannya!
”Kau saja kali yang kurang berkharisma, tak sepertiku,” sahut suara lain
disusul cemoohan dari anak lelaki lainnya.
”Lihat saja nanti, dalam satu minggu Ajeng pasti akan jadi milikku!” ujar
Gunardi dengan penuh percaya diri. Ah, Gunardi. Mengapa kau bisa seyakin itu?
Aku saja belum yakin akan perasaanku kepadamu saat ini.
”Bah, banyak omong kau! Ingat ya, kalau dalam seminggu kau tak berhasil
memacari Ajeng, sepatu bola itu menjadi milikku!”
Akhirnya gerombolan itu keluar juga. Setelah memastikan keadaan di luar
benar-benar kosong, dengan perlahan aku melangkah keluar dari bilik toilet.
Kutatap bayanganku di cermin. Kusut. Berbekal tisu yang ada di sakuku, kucoba
untuk mengenyahkan guratan kesedihan dari wajahku. Gagal, tentu saja. Mata
sembapku tak bisa berbohong. Kuputuskan untuk menghabiskan sisa jam pelajaran
di UKS.
~~
Tak terasa sudah satu bulan peristiwa itu berlalu. Kini kusambut bulan
Desember dengan sedikit lebih ceria. Gunardi sudah kubuang jauh-jauh dari
pikiranku. Enak saja menjadikanku bahan taruhan! Gunardi sudah mengakuinya dan
meminta maaf, yang kumaafkan walau masih ada sepercik rasa kesal.
Hari ini tanggal 31 Desmber. Kau tahu kan, malam tahun baru? Aku mengajak ayah
mengunjungi Pantai September.
”Jeng, dari mana kau tahu ada Pantai? Memangnya kamu sempat ke Pantai?”
Ayah bertanya dengan heran.
”Iya dong, aku kan gaul hehe. Waktu itu ada tugas buat penelitian, aku
meneliti pantai ini deh. Bagus ya?”
”Iya. Eh, kita duduk di sana yuk! Di sebelah keluarga teman bapak, keluarga
Pak Hasan!”
Aku dan Ayah menghampiri keluarga Pak Hasan yang sedang asyik berpiknik
malam-malam di bawah pohon kelapa dekat Tembok Berlin. Kamipun ikut duduk di
atas tikar kotak-kotak berwarna merah campur hitam itu. Pak Hasan inilah yang
mengantar kami ke kontrakan saat aku dan ayah pertama kali menginjakkan kaki di
kota ini. Bersama istri dan anak terkecilnya yang baru berusia dua tahun, kami
berbincang-bincang ringan. Baru kuketahui Pak Hasan yang asli orang Papua
memiliki seorang anak lelaki yang seumuran denganku.
”Loh, masa korang tak pernah
ketemu? Kalian kan satu sekolah! Satu kelas lagi!” ujar Pak Hasan keheranan
saat kutanyakan siapa anaknya.
”Bagaimana bapak tahu kami satu sekolah dan satu kelas?”
”Anakku yang bilang! Katanya ada temannya pindahan dari Yogya, sekelas
dengannya. Itu pasti kau kan?”
Aku jadi penasaran, siapa sih anak Pak Hasan ini? Yang sekelas denganku,
asli Papua, dan seorang laki-laki. Jangan-jangan...
”Nah, itu dia! Nak, sini korang!”
Dari kejauhan kulihat siluet seorang pemuda, rambutnya hitam pendek dan
lebih tinggi dariku. Wajahnya unik dan menarik, tak pernah kuhiraukan
sebelumnya.
”Alex? Jadi kau anaknya Pak Hasan?”
”I..Iya. Ternyata orang tua kitorang
saling kenal ya?” jawab Alex kikuk. Kulihat dari sudut mata Pak Hasan
mengedipkan sebelah mata pada Alex. Apa maksudnya ini?
”Eh bu, dek, kita beli es buah dulu ya di sana! Buat cemilan sambil melihat
kembang api sebentar lagi. Pak Dirman mau ikut?” ajak Pak Hasan sambil
beranjak.
”Pak, aku juga mau ikut!” pinta Alex.
”Tak perlu, nanti kitorang
belikan. Korang di sini saja, ya,
Alex dan Ajeng. Nanti tempat ini diambil orang.”
Mereka berempatpun melenggang pergi, meninggalkan aku dan Alex berdua saja.
Aku mencium sesuatu yang mencurigakan, sepertinya mereka sudah sekongkol!
”Ngg Ajeng?”
”Iya? Aneh banget ya mereka semua tiba-tiba pergi. Padahal kan sebentar
lagi pesta kembang apinya sudah mau dimulai.” ucapku sambul melirik jam tangan
yang melingkari tangan kananku. Jam tangan yang menyebabkan pertemuanku dengan
Alex. Jarum pendeknya menunjukkan angka dua belas, sedangkan jarum panjangnya
menunjuk angka sebelas.
”Ajeng, kamu masih marah dengan Gunardi?”
”Sudah tidak, ku sudah memaafkannya. Walau masih ada rasa kesal dan bingung,
mengapa ada orang yang setega itu mempermainkan perasaanku,” tak terasa air
mata itu jatuh lagi. Terkenang peristiwa itu membuatku sedih.
”Hei! Jangan menangis seperti ini! Bisa-bisa aku yang ditimpuki lantaran
dikira buat kau menangis! Ayo, ikut!”
Genggaman Alex yang mantap menyejukanku. Entah mengapa aku mau saja
digiringnya menuju satu sudut pantai yang cukup sepi. Kami duduk bersisian di
atas Tembok Berlin. Sejenak sepi menyelimti hingga aku angkat suara.
”Mungkin aku memang tak pantas untuknya.”
”Ajeng! Dia yang tak pantas untukmu! Jangan sekali-kali kau berpikiran
seperti itu! Tenang Ajeng, masih ada lelaki yang benar-benar menaruh kasih
kepadamu. Seperti..” Alex tercekat.
”Seperti apa?”
”Seperti aku.”
Ledakkan kembang api memecah penuh warna, menelan kegelapan yang sedari
tadi menguasai langit malam. Seiring dengan suasana hatiku. Hatiku yang dulu
kelam, sunyi, sepi, kini mendadak dipenuhi warna-warni. Hangat.
”Ini penembakkan nih?” tanyaku ragu-ragu. Aku tidak pernah ditembak
sebelumnya, jadi aku tidak tahu seperti apa rasanya. Kini, penembakkan
pertamaku malah terjadi di tepi pantai yang sangat indah dan romantis, di
tengah perayaan tahun baru, lagi! Kembang api yang membuncah menambah
keromantisan suasana, seakan-akan alam sudah mengaturnya untuk kami.
”Bukan, ini baru penembakkan.”
Tiba-tiba Alex melompat turun, lalu berlutut di depanku. Sejurus kemudian,
tangan kananku sudah berada dalam genggamannya.
”Ajeng, maukah kau menjadi hadiah terindah bagiku di tahun baru ini?”
Aku melompat turun, melepaskan genggamannya. Kulihat ada binar kecewa di
mata Alex, membuatku tersenyum kecil.
”Aku akan bilang ya kalau... kamu berhasil menangkapku!”
Aku berlari menembus angin darat yang tengah menyapa laut. Dingin. Namun
hatiku tetap hangat. Karena kutahu, Alex ada tepat di belakangku. Lebih tepatnya
lagi, Alex sudah berhasil mengambil tempat di hatiku.
Tiba-tiba Alex melompat turun, lalu berlutut di depanku. Sejurus kemudian, tangan kananku sudah berada dalam genggamannya.
BalasHapus”Ajeng, maukah kau menjadi hadiah terindah bagiku di tahun baru ini?”
Yang itu romantis ^_^ visit back, ya :)
wah terima kasih ya sudah sempat mampir dan baca! :D
BalasHapus