Selasa, 31 Desember 2013

Simpang Lima Jadi Saksi



"Wan, ke TBRS rame-rame yuk! Nonton wayang. Daripada bulukkan di rumah tahun baru gini, ya nggak?" seru lelaki berkumis tipis dengan suara bass itu sambil mencomot lumpia terakhir dari kulkas mini. Gilang namanya. Bukan Gelang loh ya, apa lagi Kalung.

Wawan menggeliat malas di atas kasur lapuknya. Inilah keseharian anak kos, jomblo pula. Wawan menguap lebar-lebar, tak sadar diri sudah satu harian ini mulutnya belum bertemu dengan yang namanya sikat gigi dan pasta gigi. Badannya pun sudah lama tidak bersilahturahmi dengan sabun, sampo, dan tentunya kawan setianya: air! Ck ck ck, gila memang mahkluk yang satu ini. Titisan kucing kali ya? Takut air! Betah saja Wawan ini tidak mandi berabad-abad! Alhasil, aroma semerbak memenuhi ruangan, membuat Gilang, rekan sekamarnya, seketika ingin muntah darah.

"Bujubuneg, mentang-mentang libur dan jomblo nggak gini juga kali! Gimana bisa dapet cewek kalo kayak gini caranya? Mau ikut gak jadinya?"

"Hoahm.. Ke mana? TBRS? Taman Budaya Raden Saleh? Jauh ah. Capek. Males," ujar Wawan ogah-ogahan. Mahasiswa abadi yang satu ini memang paling malas beranjak keluar dari kasur, apalagi dikala libur panjang seperti ini. Gak peduli ada kembang api kek, kembang sepatu kek, kebakaran kek, tetap saja dia bersikukuh menetap di kasurnya.

"Ish kau ini. Ini bukan wayang biasa loh, dalangnya Ki Sigit Ariyanto. Malam ini bakalan dibawain lakon 'Kongso Adu Jago'. Dua jam lagi mulai!"

"Naik apa kita ke sana? Ngesot?" Wawan berkata sambil mengorek lubang telinganya dengan ujung kelingking. Sekarang kau tahu kan kenapa ia tak kunjung dihinggapi seorang cewekpun?

"Makanya kau itu kerjaannya cuma tidur, makan, tidur, makan, kencing, tidur. Tadi siang si Tarjo, anak kos sebelah, SMS aku. Katanya dia udah nyewa satu angkot buat yang mau ke TBRS hari ini, patungan sepuluh ribu aja. Ayo ikutan! Abis nonton kita ke Simpang Lima, dijamin seru deh!" Gilang masih ngotot mengajak Wawan. Dia nggak mau sobatnya itu mematung sendirian di kamar kos, di malam tahun baru, lagi!

"Ya wes, ya wes. Aku ngikut aja. Kapan perginya?"

Wawan akhirnya beranjak dari kasur. Pergerakan besar! Wawan kini duduk di tepi kasur!

"Setengah jam lagi."

"Bagus deh, masih ada waktu buat tidur," sedetik setelah menyelesaikan kalimat itu, Wawan langsung tergeletak lagi di atas kasur.

"Wan, WAWAN! Mandi dulu lah ya terus siap-siap! Enak aja tidur lari, udah seharian ini tidur masih nggak cukup juga apa? Sana, mandiiiii!!!" Gilang menyeret Wawan yang masih setengah tidur menuju kamar mandi. Wawan, wawan.

***

"Tasya, malam ini kamu mau ke mana? Nonton kembang api bareng yuk di Pantai Marina!"

"Pantai Marina? Jauh ah! Cuma ngeliat kembang api aja jauh-jauh amat. Ke Simpang Lima aja ah! Toh kembang api di mana-mana kan sama aja, cuma bleduk bleduk, meledak dag dig dug duer! Lalu hilang, buyar. Seakan mati tertelan langit malam," Tasya menjawab malas-malasan. Malas aja panjang dan puitis begitu, gimana lagi nggak malas, apalagi lagi rajin ya? Pasti jadi ensiklopedia. Baginya, tahun baru tidak berbeda dengan libur-libur lainnya. Tidak ada yang spesial. Sama saja seperti hari Sabtu dan Minggu.

"Kan suasanyanya beda Tasya-ku sayang.. Bosen ah ke Simpang Lima terus. Sekali-kali cari suasana yang beda dong! Siapa tau nemu cowok nganggur, terkapar lemas di atas abu-abunya pasir Pantai Marina nun jauh di sana. Hi hi hi," bujuk Dirna tak kenal lelah. Bosan juga tiap akhir pekan mereka hanya ke Simpang Lima saja. Rekan sekamar kosnya itu memang susah diajak have fun, tapi Dirna tak pernah menyesal berteman dengan Tasya. Tasya-lah satu-satunya mahkluk yang bersedia merelakan berjam-jam dalam hidupnya untuk dicelotehi sepanjang malam oleh Dirna. Dengan Tasya, Dirna bisa bercerita apa saja, curhat apa saja. Ia tahu Tasya tak akan membocorkannya pada siapapun. Bukannya mengejek, merendahkan atau semacamnya, cuma Tasya ini memang cukup sulit bergaul. Ya anaknya memang agak tertutup, introvert gitu. Apa lagi karena ibunya... Ibunya itu.. Hmm, nggak enak ah ngomongnya. Nanti kalian juga tahu sendiri. Nah, karena dasar alasan itulah Dirna yakin si Tasya nggak bakalan ngebongkar rahasianya ke siapa-siapa. Ke siapa lagi gitu loh, wong cuma Dirna yang deket sama Tasya! Apa iya Tasya membongkar rahasia Dirna ke Dirna? Lalu Dirna menceritakan rahasia Dirna ke Tasya. Kemudian Tasya menceritakan... Ah, sudahlah.

"Ya udah kamu ke pantai aja bareng yang lain, aku ke Simpang Lima aja cukup."

"Yakin? Gak rame ah kalau nggak ada kamu! Gina, Manda, sama Andri juga pasti bakal kehilangan kamu. Ini kan malam tahun baru, rayain rame-rame dong," Dirna masih berusaha membujuk Tasya yang kepala batu. Tapi batu ya batu, sulit dilunakkan. Tasya pun tetap memilih untuk pergi ke Simpang Lima saja, walau harus sendirian.

***

Wawan sudah rapi, terbalut atasan batik dan celana bahan warna hitam. Tidak ketinggalan, gesper keberuntungan melingkari pinggangnya. Kalau sudah rapi begini, baru kelihatan deh ketampanan si Wawan ini. Kalah deh si Gilang. Sampai-sampai Gilang jadi menyesal juga mengajak Wawan, menjadi penghalangnya saja nanti jika dia bertemu cewek cantik calon pendamping hidupnya!

Bagaimana sih ketampanan si Wawan ini? Hmm, kira-kira begini gambarannya. Hidungnya bangir, pemberian dari bapaknya. Manik matanya hitam besar, membulat dibingkai apik oleh bulu mata lebat warisan dari ibunya. Wajahnya oval, kulitnya sawo setengah matang. Rambutnya yang hitam disisir klimis ke belakang, dengan bantuan minyak rambut tentunya. Kini Wawan dan Gilang sudah bersiap sedia untuk berangkat ke Taman Budaya Raden Saleh. Merekapun berjalan kaki pelan-pelan menuju kos-kosan Tarjo. Sepanjang jalan, banyak orang berkonvoi, meriah sekali. Bunyi sengau terompet terdengar membahana di sana sini, memecah keheningan yang biasanya menyelimuti malam. Lampu-lampu motor berkedap-kedip seru, berpadu riuh dengan klakson yang ditekan berirama. Suasana Kota Semarang tidak pernah seramai ini. Di malam tahun baru sajalah Semarang yang biasa terkenal kalem dan pendiam mengubah wajahnya, bagaikan gadis yang bersolek untuk menyambut kekasihnya.

Merekapun sampai di kos-kosan Tarjo. Di sana, sudah ada kira-kira sepuluh orang menunggu kedatangan mereka dengan terompet aneka bentuk dan warna. Hanya Wawan dan Gilang yang tampak polos tanpa aksesoris tahun baru setitikpun. Merekapun melenggang menuju Taman Budaya Raden Saleh sambil meniupkan terompet sepanjang jalan.

***

"Tasya serius nih?" Dirna bertanya untuk keseratus kalinya sebelum ia berangkat menuju Pantai Marina bersama kawan-kawan lainnya, meninggalkan Tasya sendiri.

"Iya, tenang aja! Kalian pergi sana, nanti telat loh! Aku ke Simpang Lima mah sebentar. Sepuluh menit juga sampai. Nanti aja aku mah perginya, setengah jam lagi juga bisa. Kalian baik-baik ya! Dadah! Selamat tahun baru!"

Tasya mendorong-dorong Dirna, lalu melambaikan tangan ke arah mereka sampai mereka benar-benar menghilang dari pandangan

"Hmm, sekarang mau ngapain ya? Masih lama ini tahun barunya. mau browsing-browsing dulu ah!"


Tasya melakukan satu-satunya aktivitas kegemarannya di kala liburan: browsing. Setelah browsing sana sini, Tasya mengetahui malam ini sedang diadakan pagelaran wayang kulit di Taman Budaya Raden Saleh, tak jauh dari kos-kosannya. Pertunjukkan sudah di mulai setengah jam yang lalu, tapi tak mengapa. Tujuan Tasya sebenarnya juga hanya ingin membunuh waktu sembari menunggu kedatangan sang tahun baru yang dinanti-nanti semua orang. Ya, lumayan lah, menyaksikan lakon 'Kongso Adu Jago' yang dibawakan oleh dalang Ki Sigit Ariyanto. Daripada nganggur sendirian di Simpang Lima nggak ada kerjaan. Akhirnya Tasya memutuskan, dia harus menonton lakon itu. Artinya, ia harus bergegas ke TBRS sekarang juga! 


***

Pertunjukkan sudah berlangsung selama kurang lebih satu jam. Cukup seru. Wawan melirik jam tangannya untuk keseribu kalinya hari ini. Pukul sepuluh malam. Masih dua jam lagi sebelum tahun baru yang dinanti-nantikan semua orang itu tiba. Di sebelah kanannya duduk Gilang, sedangkan bangku di sebelah kirinya kosong melompong. Lalu di sebelah bangku itu ada... tembok. Iya, bnagku itu bangku paling pojok kiri.

"Coba aku udah punya pacar, dia pasti sekarang bisa duduk di sebelah kiriku, lalu kami sama-sama nonton wayang kulit sambil berpegangan tangan. So sweet..."


Sambil membayangkan, Wawan senyum-senyum sendiri, membuat Gilang di sebelahnya kebingungan sekaligus ketakutan. Apa si Wawan mendadak gila lantaran merindukan belaian seorang wanita? Sudah lama kan dia tidak punya pacar? Atau jangan-jangan, Wawan sudah beralih minat, tak lagi tertarik pada wanita dan kini lebih menyukai pria? Gilang bergidik geli. Walau tak percaya imajinasinya sendiri, tak ayal Gilang menggeser duduknya sehingga lebih menjauhi Wawan. Agak takut juga ia tiba-tiba imajinasinya menjadi nyata.


***

Tasya akhirnya tiba juga di TBRS. Ruangan sudah cukup penuh, hanya satu dua bangku yang masih tampak kosong. Tasya mencari bangku terdekat. Ah, itu dia, bangku paling pojok kiri yang kelihatannya nyaman. Tasya pun duduk di sana, lalu melempar senyum alakadarnya kepada lelaki di sebelah kanannya.

"Hmm, lumayan ganteng juga cowok ini," batinnya sambil memperhatikan pemuda itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Pemuda itu berambut klimis disisir rapi ke belakang, dengan bantuan minyak rambut sepertinya. Hidungnya cukup bangir. Ditambah lagi, matanya yang hitam bermahkotakan bulu mata lentik yang tebal tiada terkira. Kalah deh bulu mata badainya Syahrini. Oke, nggak setebal itu juga sih. Tapi ya, cukup tebal lah untuk ukuran cowok.

Sesekali Tasya mencuri pandang ke arah cowok yang dianggapnya lumayan kece ini. Semakin dilihat-lihat, kok rasanya makin familiar ya? Makin kenal. Kayaknya pernah bertemu sebelumnya. Tapi ia lupa di mana dan kapan. Tasya mengendikkan bahu tak peduli, mungkin imajinasinya saja. KEmbali ia fokuskan mata, hati, dan pikirannya pada lakon yang sedang ditampilkan. Sayang kan, udah capak-capak ke sini tapi nggak tahu ceritanya kayak apa?

***

Seorang gadis baru datang ketika pertunjukkan sudah separuh jalan, lalu mengambil tempat duduk di samping Wawan. Wawan bagai kejatuhan durian runtuh, apalagi gadis itu melemparkan sebentuk senyum manis padanya. Oh Tuhan, inikah yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama?

Gadis itu manis sekali. Rambutnya yang hitam sebahu digerai begitu saja, tanpa aksesoris apapun, polos. Wajahnya juga polos tanpa dipulaskan make up berlebihan. Hanya bedak bayi tipis-tipis saja yang menutupi wajah ovalnya. Wawan sekali-sekali mencuri pandang ke arah gadis itu. Semakin dilihat-lihat, kok rasanya makin familiar ya? Makin kenal. Kayaknya pernah bertemu sebelumnya. Tapi ia lupa di mana dan kapan. Wawan mengendikkan bahu tak peduli, mungkin imajinasinya saja.

Tiba-tiba ada yang mencolek bahunya. Gilang rupanya.

"Gile, mimpi apa lo semalem, bisa dapet durian runtuh kayak gitu, ada malaikat jatoh di sebelah lo. Tukeran tempat yuk! Enak banget dari tadi lo nyuri-nyuri pandang ke arah dia terus kan? Eh, tadi kalau gue nggak salah liat, kalau gue nggak salah liat loh ya, dia juga nyuri-nyuri pandang gitu ke arah lo! Beruntung banget lo, men! Gak rugi kan gue ajak ke sini? Jadi nyesel gue ngajak lo. Coba lo nggak ikut, dia pasti pulang-pulang udah jadian sama gue!" cerocos Gilang panjang kali lebar kali tinggi. Volume deh jadinya, he he he. Garing? Biarin deh. 

Tapi tentu saja, cerocosan Gilang ini disampaikan dalam bisik, agar tidak mengganggu penonton lain yang emang niat pingin nonton lakon ini dari awal dan alasany yang lebih tepatnya lagi yaitu.. agar tidak kedengeran sama cewek yang lagi diomongin itu.

"Hus, sembarangan! Tapi emang bener dia ngelirik gue? Ternyata gue segitu gantengnya ya," ujar Wawan kepedean. Gila, keren juga, kalau semisalnya dia berhasil mendapatkan pacar di malam tahun ini. Berhasil melepas status jomblo abadi yang selama ini selalu lekat dengannya, tepat sebelum tahun dengan ekor angka sial ini berakhir.

***

Pertunjukkan wayang kulit itupun usai sudah. Waktu sudah menunjukkan tepat pukul sebelas malam, menandakan tinggal satu jam lagi saja mereka akan menikmati apa yang dinamakan dengan tahun 2013. Hari terakhir di tahun 2013 ini. Wawan dan kawan-kawan sudah bersiap berangkat saat Wawan melihat gadis manis yang duduk di sebelahnya tadi tampak kebingungan. Sepertinya ia sedang menunggu angkot yang tidak kunjung datang. Maklum, malam tahun baru. Banyak angkot-angkot yang disewakan, termasuk angkot yang hari ini sedang disewa oleh Tarjo.

Ragu-ragu, dengan jurus malu tapi mau, Wawan mendekati gadis itu.

"Hei, kamu tadi yang duduk disebelahku ya?"

"Iya. Ada apa ya?"

"Nunggu angkot ya? Sampai tahun depan gak bakal dapat loh, memang kamu mau ke mana?"

"Ke Simpang Lima nih, he he he. Biasa, nonton kembang sepatu, eh kembang api."

"Ih kamu ngelawak aja. Kebetulan banget kita juga lagi mau ke Simpang Lima. Kayak sinetron aja ya bisa kebetulan kayak gini? Bareng aja yok! Gak bakal kita apa-apain deh. Paling digigit... nyamuk he he he."

"Ngg, ya udah deh."

Tasya yang sejak pandangan pertama memang sudah kepincut sama Wawan tidak mampu menolak ajakan Wawan. Sudah dilupakannya jauh-jauh nasihat orang tuanya sejak ia kecil, jangan mau diajak pergi sama orang asing yang baru dikenal, apalagi laki-laki. Ya, cinta memang membutakan segalanya, Tasya tahu itu. Tapi ia tak tahu kalau cinta juga membuatnya tuli seperti ini.

Mereka menaiki angkot sewaan Tarjo. Walau harus berdesakan, tapi tak apa lah. Tarjo yang melihat adanya pendatang baru, sang mahkluk manis dalam angkot, langsung tebar pesona. Tasya hanya membalasnya dengan senyuman.

Tiba-tiba Handi yang satu kampus dan satu jurusan dengan Gilang dan Wawan menyadari ada sesuatu yang familiar dari wajah gadis itu. Benar, tak salah lagi!

"Kamu Tasya kan? Anaknya Bu Girni, dosen yang super killer itu?" ujar Handi yang emang suka bergosip, jaringannya luas, sinyalnya kuat, dan kenal hampir semua orang di kampus mereka.

"Iya, kok kamu tahu?"

Wawan dan Gilang melongo dibuatnya. Mulut mereka membentuk bulatan kecil, huruf o. Sesuai dengan namanya, melongo. Di jidat mereka seakan tercetak besar-besar dan jelas-jelas tulisan ini dengan huruf kapital, font size-nya 72 dan di-bold: 'Masa sih? Sumpe lo?'.

"Wawan, Gilang, masa kalian lupa? Dia kan juga satu kelas sama kita! Lha wong jurusannya juga sama, Arsitektur! Kalian sih cuma jadi kupu-kupu, kuliah pulang kuliah pulang!"

Wawan tertegun. Ya ampun pantas wajahnya familiar, mirip dengan ibunya ternyata, si Bu Girni! Wawan bergidik membayangkan Bu Girni akan menjadi mertuanya suatu hari nanti. Eh, mertua? Belum apa-apa Wawan sudah berpikiran sejauh ini. Ada-ada saja kau ini. Wawan, wawan.

Mereka sampai di Simpang Lima. Wawan mengajak Tasya ke tempat yang agak sepi, dekat toilet. Si Tasya juga mau-mau saja.

Lalu dengan tidak tahu diri dan tidak tahu malu, Wawan berlutut di depan Tasya, dan di depan banyak orang yang lagi keluar masuk WC.

"Tasya, sejak pertama aku melihatmu, jantungku langsung berdegup kencang. Mungkin ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama. Dulu aku tidak percaya itu, tapi kini aku percaya setelah bertemu denganmu bidadariku. Tasya, maukah kau menjadi permaisuri hatiku, di awal tahun yang baru ini?"

Tasya terbungkam, tak mampu berkata-kata. Mereka jadi tontonan gratis. Ribuan pasang mata tertuju pada metreka kini. Oke, lebay memang. Ya mungkin hanya belasan pasang mata, tapi jumlah segitu sudah cukup membakar pipi putih Tasya menjadi merah merona. Ia malu sekali. Sejenak sunyi menyelimuti mereka, sampai ratusan suara, mulai dari lelaki dan perempuan, batita, balita, batuta, remaja, anak-anak dan dewasa, hingga para lansia menyatukan suara mereka. Hanya Tasya dan Wawan saja yang masih bergeming, seolah larut dalam dunianya sendiri yang hanya dihuni mereka berdua. Saling mnatap, tak peduli riuhnya suasana.

"Dua puluh!
Sembilan belas!
Delapan belas!
Tujuh belas!
Enam belas!
Lima belas!
Empat belas!
Tiga belas!
Dua belas!
Sebelas!
Sepuluh!
Sembilan!
Delapan!
Tujuh!
Enam!
Lima!
Empat!
Tiga!
Dua!
Satu!
Selamat tahun baru dua ribu empat belas semuanya!"

Dag Dig Dug Duar!

Kembang api pertama merekah di atas kelamnya kanvas langit Semarang. Tak berbeda jauh dengan suasana isi hati Tasya, ikut dag dig dug duar juga, senada dengan kembang api yang terus meletup-letup mewarnai cakrawala Simpang Lima. Gadis itu menarik kedua ujung bibirnya sehingga membentuk lengkungan sempurna, setengah lingkaran terbalik tergambar jelas di bibir merah ranumnya. Tasya mengangkat ujung bibirnya, hendak berkata-kata.

"Mungkin aku gila, tapi aku juga merasakan hal yang sama ketika pertama kali melihatmu duduk di TBRS kala itu. Ya, aku juga jatuh cinta padamu dan aku menerimamu, Wawan."

Mereka berpelukan diiringi suara kembang api dan terompet yang bersahutan terus menerus tanpa kenal henti. Ya terkadang, cinta tak perlu banyak basa basi. Cinta pada pandangan pertama itu nyata. Cepat ungkapkan sebelum tahun ini berakhir!

Tam..


Hei, hei! Lihat dulu satu cerpen saya, diikutkan dalam #NulisKilat juga >http://depimomo.blogspot.com/2013/12/meneropong-sorong.html<

Tamat

0 komentar:

Posting Komentar

Feel free to drop your comment.. Thanks! :D

 

Celoteh si Devi Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang

Blogger Templates