Selasa, 31 Desember 2013

Gugur Salju di Giethoorn

Aku mengalungkan kamera DSLR hitamku di leher seraya memikul ransel merah muda kesayanganku. Dari saku kanan celana jeans, kukeluarkan sebentuk notes berisi check list. Untuk mengecek barang-barang bawaanku, seperti biasa. Kamera, check! Bekal, pasti! Laptop, yup! Nametag… ya ampun! Aku lupa mencetak nametag-ku!

Buru-buru aku menyalakan laptop dan membuka email dari Amsterdam Street Photographer Community yang berisi soft file nametag-ku. Dasar Kinanty! Untung saja masih ada satu jam lagi sebelum bus nomor 70 yang menuju Giethoorn itu berangkat. Jangan sampai aku ketinggalan program day trip pertamaku ini. Bikin malu saja.

Ya, ini adalah pengalaman traveling pertamaku. Mendengar kawan-kawan yang sering backpacker-an di kampus lama-lama membuatku iri juga. Akhirnya berbekal kamera DSLR hadiah ulang tahunku dua tahun silam, aku nekat bilang ya saat di ajak Sonya traveling sekaligus berburu foto-foto cantik bersama kawan-kawan anggota ASPC tempatnya bergabung. Jadilah Sabtu pagi ini bukannya malas-malasan sambil blogging seperti biasanya, aku malah bangun pagi dan menyetting kameraku. Jalan-jalan ke Venice van Holland, yippie!

Setelah berpamitan dengan orang tua asuh tempatku tinggal selama di Belanda, aku naik sepeda menuju stasiun utama di Amsterdam. Dinginnya udara dan satu-dua salju yang melayang jatuh tak menyurutkan kayuhan kakiku. Gumpalan putih itu ada di mana-mana, menandakan bulan Desember telah tiba. Lebih dari itu, hari ini tanggal 31 Desember. Kau tahu artinya kan? Malam tahun baru! 

Sehabis traveling, sudah kuputuskan akan menginap di Hotel de Harmonie yang terletak di Giethoorn, sekamar dengan Sonya.

Tiba-tiba kurasakan getaran dari saku kiri celanaku. Rupanya Sonya mengirim SMS.

‘Waar zit je?! Schiet op!(1)’

Aku tersenyum kecil dan membalasnya santai.

‘Ik ben op mijn manier. Kijken naar de sneeuw valt op de grond. Voortreffelijk.(2)’

Sonya pasti mencak-mencak membaca balasanku, aku bisa membayangkan wajahnya yang putih kini memerah, kepalanya dengan rambut pirang berombak itu ditumbuhi sepasang tanduk dan telinganya mulai mengeluarkan asap putih…. Oke, oke. Aku memang lebay.

Sampailah aku di Amsterdam Central Station. Dengan menumpangi kereta, aku menuju Zwolle. Memandangi putihnya salju dari balik jendela kereta, ponselku kembali bergetar. Ya, Sonya lagi.

'Ik ben serieus! De helft van de groep al aanwezig. Je moet snel zijn als je niet wilt worden gelaten!(3)’

Kubalas SMS itu cepat, menyatakan bahwa aku tengah naik kereta yang ditarik rusa-rusa milik Sinterklas dengan kecepatan cahaya.

Aku sampai di Zwolle dengan utuh. Kini aku harus menyambung shuttle bus antar stasiun, lalu menyambung lagi dengan bus nomor 70 yang akan mengantarku ke meeting point. Tak kusangka pengalaman pertama travelling-ku selancar ini!

Duduk di stasiun, membiarkan angin membelai rambut hitam sebahuku, membuat memori  masa kecilku terputar lagi. Aku menontonnya dalam pikiranku, seolah layar lebar terpampang jelas dihadapanku. Teringat akan Mama dan Papa, Rudi kakakku dan tunangannya Tiara. Tak terasa sudah dua tahun kami tidak bertatap muka. Bagaimana kabar mereka? Aku harus menelpon mereka tahun baru nanti. Ingatanku melompat lebih jauh, ke masa-masa ketika aku masih berbalutkan seragam putih biru. Satu nama melintas di otakku. Kolki.

“Kolki, aku dengar kamu mau ngelanjutin sekolah di luar negeri ya?” aku bertanya hari itu, seusai upacara pelepasan murid-murid kelas tiga. Hatiku sangat sedih, mengingat aku diam-diam menyimpan rasa padanya selama tiga tahun ini. Dia Kolki, lelaki pertama yang membuatku mengecap manisnya rasa jatuh cinta. Sayang aku terlalu kolot, membiarkan rasa itu tumbuh tanpa memberi pertanda sedikitpun padanya. Berharap Kolki membaca pikirannku, menerjemahkan perasaanku, dan lebih dulu menyatakan cinta padaku. Namun saat itu tak kunjung tiba, malah sahabatku sendiri Hyena yang berani menembak Kolki. Ya, mereka menjalin hubungan pada akhirnya.

“Ya. Kau tahu kan kakekku tinggal di Belanda, bukan? Ia ingin aku tinggal bersamanya. Orang tuaku setuju, apalagi masa depanku lebih cerah jika bisa meraih gelar sarjana di sana,” Kolki menjawab panjang, jelas, formal. Tak seperti biasanya. Aku berharap dia akan menggodaku seperti   ‘Jangan rindukan aku ya, fans terbesar dan terberatku!’ atau ‘Tentu, susul aku kalau kau bisa!’

Brmmmm…..

Deru bis membuyarkan lamunanku. Tunggu dulu, deru bis? Benar saja, bis hijau dengan aksen biru itu sudah melaju menjauh, semakin lama semakin mengecil. Itu bis nomor 70 yang sedang kutunggu!

“Wacht op mij!!(4)”

Aku berlari mengejarnya. Percuma saja, hanya gulungan asap putih yang kudapatkan. Terpaksa aku harus menunggu bis berikutnya.

“Sorry, wanneer de volgende bus zal aankomen bestemming Giethoorn?(5)”

Tanyaku putus asa pada petugas yang ada di sekitar halte.

“Een uur.”

Een uur? Satu jam? Seketika aku langsung lemas. Ponselku bergetar lagi untuk ketiga kalinya hari ini.

‘Je niet waar, Kinan?(6)’

‘Uh, Sonya, Ik heb de bus gemist. Ik heb nog een uur. Het lijkt alsof je moet vertrekken. Gaan.(7)’

‘Wat, Kinan?! Umm, ziet eruit alsof je om alleen te reizen. We ontmoetten in het hotel later.(8)’

Akhirnya perjalanan yang kukira lancar jaya mulus tanpa hambatan malah berakhir seperti ini. Ya sudahlah, solo travelling juga tak terlalu buruk. Akupun sampai satu jam kemudian dan membeli tiket bis air untuk menyusuri kanal-kanal yang mulai membeku. Oh ya, apa aku belum bilang kalau hampir tidak ada jalan darat di sini? Jalan-jalan kecil hanya diperuntukan bagi pejalan kaki dan pengguna sepeda, sedangkan jalan utama di sini adalah lewat jalur air. Itulah yang membuat Giethoorn mendapat julukan Venice van Holland.





Memandangi pepohonan memutih tertutup salju serta rumah-rumah tradisional membuatku terlena. Di kiri dan kanan sungai, kau akan menumukan puluhan rumah yang mirip dengan penggambaran dalam dongeng-dongeng. Bagian depannya terbuat dari bata, sedangkan bagian belakangnya terbuat dari kayu. Berdasarkan browsing di internet semalam, aku mengetahui bahwa dinas kota sudah menetapkan standar ketetapan membangun rumah di sana demi menjaga citra Giethoorn itu sendiri.



Beberapa foto apik berhasil kubidik dari bis air ini. Hmm, akan kupamerkan pada Sonya nanti! Sambil menikmati pemandangan, aku mulai menyenandungkan sebuah lagu favoritku, Ada Cinta.

Mengapa berat ungkapkan cinta, padahal ia ada
Dalam rinai hujan, dalam terang bulan, juga dalam sedu sedan
Mengapa sulit mengaku cinta, padahal ia terasa
Dalam rindu dendam, hening malam
Cinta terasa ada

Tak terasa air mataku menitik. Aku memang selalu teringat pada Kolki jika mendendangkan lagu ini. Sepertinya suara cemprengku terlalu keras, buktinya kini pria yang duduk di depanku tengah menatap kearahku. Rambut pendeknya yang kecoklatan membingkai wajah putih berbintik merah itu. Cukup tampan. Tapi, jika rambut coklat itu kubayangkan berwarna hitam, dan bintik merah itu kuhilangkan, rasanya aku mengenalinya.

“Hmm, are you Indonesian?”

“Yes. And you..”

“Aku juga orang Indonesia! Wah senangnya bertemu orang Indonesia di sini!”

Apa? Dia juga orang Indonesia? Berarti dia mengerti dong apa yang tadi kunyanyikan? Kurasakan aliran darah mengumpul di pipiku. Uh, aku malu, apalagi pakai acara nangis segala!

“Uh oh. Ya, aku juga. Ngomong-ngomong aku Kinan, Kinanty Hemandi,” ujarku sambil mengulurkan tangan.

"Kinan? Is this really you?”

Aku mengrenyitkan dahi. Kepingan puzzle itu mulai tersusun dalam benakku.

“Kolki?” aku bertanya penuh harap.

Nope. Kau salah orang.”

Hampir saja aku tertipu kalau tak ku lihat sorot mata jenaka itu. Sorot mata yang selama ini membayangi mimpi terliarku. Ups, jangan berpikiran yang aneh-aneh ya. Mimpiku sebatas berpegangan tangan sambil berjalan-jalan di sebuah taman dengannya. Itu saja.

“Kau kira bisa menipuku, hah? Sejak kapan rambutmu menjadi coklat? Lalu bintik-bintik merah itu?”

“Ya, aku baru saja menjadi objek percobaan penemuan baru bernama cat rambut. Dan soal bintik ini, pernahkah kau mendengar sebuah penyakit akut mematikan bernama jerawat? Aku mengidapnya.”

“Huh! Iya aku tahu itu cat rambut kok, aku hanya mengetes saja. Jerawat? Dasar jorok! Aku tidak pernah tuh berkenalan dengan yang namanya jerawat.”

“Masa? Bagaimana dengan tonjolan merah di hidungmu, saat kita kemping pramuka di sekolah delapan lalu? Saat kita kelas satu SMP?”

Wajahku memerah, malu.

“Kau masih ingat?”

Tak pernah kusangka Kolki juga memperhatikanku, bahkan hingga ke detail terkecil seperti itu. Kulihat ia tertegun sejenak, lalu salah tingkah. Pipinya yang bertabur bintik merah tambah memerah. Mungkinkah ia… malu? Kolki beranjak dan duduk di sebelahku yang kosong. Bis air itu agak limbung saat ia berpindah.

“Umm, ya. Mengingatkanku betapa joroknya dirimu dulu.”

“Jadi sekarang aku bersih?” aku menggodanya. Reaksinya tak seperti dugaanku, bukannya membantah ia malah mengangguk malu. Ada apa ini?

“Oh ya, bagaimana kabar Hyena?”

Ah, sial! Dasar Kinan bodoh, bodoh, bodoh! Malah merusak suasana sebagus ini. Kapan lagi bisa duduk di sebelah Kolki, dikelilingi pemandangan menakjubkan sebuah kota apung cantik seperti ini?

“Itu kan sudah lima tahun yang lalu. Kami sudah berpisah baik-baik sejak keberangkatanku ke Belanda. Ngg, jujur saja sebenarnya aku menerima Hyena karena tak tega menolaknya.”
Loh, loh, mengapa ia menceritakannya padaku yang bukan siapa-siapanya? Aku kebingungan, namun berusaha tampil biasa saja. Sama seperti dulu ketika aku menyembuyikan perasaanku selama bertahun-tahun.

Perlahan bis air yang kami tumpangi berhenti. Telah tiba di halte terakhir rupanya. Uh, benar-benar saat yang tidak tepat! Sang supir sudah menuruni singgasananya, seiring dengan penumpang terakhir yang satu per satu mulai turun. Tiba-tiba saja Kolki berlari mengejar sang supir, meninggalkanku duduk sendiri di atas bis air ini. Kuperhatikan dari jauh, Kolki terlibat perbincangan serius, lalu Kolki menyerahkan beberapa lembar Euro, dan kembali dengan wajah jahil.

“Kolki! Jangan bilang kalau kamu tadi…”

“Menyewa bis ini seharian penuh untuk kita berdua! Tepat sekali, nona!”

Aku tertegun. Teringat pengalaman yang mirip dengan ini empat tahun silam, ketika Kolki menyewa becak dan mengantarku keliling kota Bekasi sepanjang sore. Waktu itu ia kalah peringkat di kelas dariku, ia peringkat tiga sedangkan aku peringkat dua. Kami telah membuat kesepakatan, yang kalah akan menuruti segala keinginan sang pemenang. Aku senang sekali mengerjainya kala itu. Tapi akhirnya, Kolki sakit karena kelelahan. Selama liburan kenaikan kelas, bolak-balik aku menjenguk Kolki. Hampir satu minggu ia terkapar, ternyata ia memang tidak boleh kelelahan. Kolki bodoh, ia kan bisa saja mengatakannya padaku sehingga tidak membuatku merasa bersalah.
Kolki kini duduk di singgasana sang supir bis. Aku duduk di sebelahnya.

“Sebaiknya kau mulai mempertimbangkan profesi ini, Kolki. Kau tampak cocok sekali!” aku mengejeknya sepenuh hati. Sudah lama kami tidak bertukar ejekan seperti ini.

“Sepertinya matamu sudah perlu diperiksa. Tidakkah menurutmu aku terlalu tampan untuk menjadi supir bis?”

Ya, kau memang terlalu tampan untuk menjadi supir bis. Kau cocoknya menjadi suamiku!

“Cih, cerminpun tak mampu merefleksikan dirimu, saking jeleknya!”
Kami tertawa terbahak-bahak mendengar betapa noraknya banyolan kami sendiri. Hmm, Kolki, aku tak tahu bahwa cinta itu penuh bahan pengawet. Rasa cintaku ternyata belum terhapus setelah terpisah bertahun-tahun. Andai aku berani untuk mengungkapkannya.

Crash!

Rupanya bis air yang sedang dikendarai Kolki menabrak kristal es kecil hasil membekunya sungai. Untung saja kami tidak tenggelam seperti kisah Titanic. Kubayangkan aku menjadi Rose, sedangkan Kolki menjadi Jack.

“Fiuh, untung bis ini tidak terbelah dua. Kalau tidak, kita akan melanjutkan jejak Titanic! Nanti kita buat film, judulnya Titanic 2. Tapi agak konyol juga tenggelam di sungai dengan kedalaman hanya satu meter,” celoteh Kolki riang.

“Oh ya kulihat tadi kamu memfoto pemandangan sekitar, kamu lagi travelling? Kok sendiri?”

Ah! Hampir saja aku melupakan tujuanku ke sini. Kulirik jam tangan yang melingkari tangan kananku. Pukul enam lebih lima belas menit. Pasti Sonya sudah menantiku di hotel.

“Aku seharusnya bersama rombonganku, tapi tadi aku ketinggalan bis sehingga harus solo travelling. Kolki, aku ingin sekali menyusuri kanal bersamamu tapi temanku pasti sudah menungguku di hotel,” kataku dengan penuh penyesalan.

“Harusnya tadi aku tidak usah bertanya ya? Kirimi saja temanmu itu pesan, bilang kau datang agak terlambat.”

Benar juga, aku merogoh sakuku. Uh, ponselku kehabisan baterai. Pantas saja dari tadi tidak ada celotehan Sonya.

“Baterai ponselku habis. Apa kau bawa ponsel?”

“Tidak, sepertinya kita sudah ditakdirkan terjebak di sini.”

Malam itu, kami menyusuri kanal sambil bernostalgia. Aku menguap, rupanya sudah hampir tengah malam.

“Kinan, bagaimana jika kukatakan aku menyukaimu sejak dulu, tapi tidak berani mengatakannya?”
Aku terbungkam. Sepi menyelimuti kami selama beberapa menit.

“Mengapa baru kau katakan sekarang?”

“Aku terus mengulur waktu. Aku katakan pada diriku sendiri, bila aku bertemu denganmu lagi sebelum tahun 2013 berakhir, aku akan mengatakannya padamu. Awalnya kukira itu mustahil, namun rupanya Tuhan berkata lain. Jadi?”

“Aku akan bilang ya jika kita bisa melihat kembang api sekarang.”

“Kau beruntung”

Dari ranselnya, Kolki mengeluarkan sebentuk bungkusan yang kukenali sebagai kembang api. Lalu ia mulai membakarnya dengan korek api yang sudah ia persiapkan. Kembang api menghiasi langit malam, menelan kegelapan yang sedari tadi menyelimuti langit.

“Kau gila Kolki! Ngomong-ngomong, kenapa kau bisa bawa kembang api?”

“Aku tahu kau suka sekali menonton kembang api. Asal kau tahu, aku selalu membawanya setiap tahun baru, berharap bisa menunjukkannya kepadamu. Tak kusangka ini menjadi tiket mendapatkan jawaban ‘ya’ darimu. Jadi?”

Aku mengangguk. Lembar pertama dari buku setebal 365 halaman dalam hidupku tak pernah seindah ini.

Words: 2,013


Special to #CintaDalam2013Kata

(1): Kau ada di mana? Cepat!
(2): Aku sedang dalam perjalanan. Memandangi salju yang gugur ke tanah. Sungguh indah.
(3): Aku serius! Separuh rombongan sudah tiba. Kamu sebaiknya cepat kalau tidak mau ditinggal.
(4): Tunggu aku!
(5): Maaf, kapan bis berikutnya yang menuju Giethoorn tiba?
(6): Kamu ada di mana, Kinan?
(7): Uh, Sonya, aku ketinggalan bis. Aku baru tiba satu jam lagi. Sepertinya kalian harus meninggalkanku. Pergilah.
(8): Apa, Kinan? Um, sepertinya kamu harus travelling sendiri. Kita bertemu nanti di hotel.

0 komentar:

Posting Komentar

Feel free to drop your comment.. Thanks! :D

 

Celoteh si Devi Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang

Blogger Templates