Rabu, 14 Desember 2011

Temple Grandin (film)

Autis Bukan Akhir Segalanya


Nature is cruel but we don't have to be. We owe them some respect. I touched the first cow that was being stunned. In a few seconds it was going to be just another piece of beef, but in that moment it was still an individual. It was calm and then it was gone. I became aware of how precious life was... -Temple Grandin
Kemarin malam, seperti biasanya saya iseng-iseng nonton tv, cari acara yang bagus. akhirnya tangan sayapun berhenti menggonta-ganti saluran tatkala menyaksikan akting Claire Danes yang sangat hebat dalam film Temple Grandin di HBO signtature. Saya agak menyesal karena tak menonton dari awal. Film ini benar-benar membuat saya stunning, tak berkedip. Berikut ringkasannya:

Temple Grandin sejak kecil sudah divonis sebagai penyandang autisme (manakala yang dulu belum familiar dan digolongkan sebagai gangguan kejiwaan skizofrenia). Sewaktu dilahirkan, sang dokter menyarankan ibu Grandin untuk memasukannya ke dalam rumah sakit jiwa. Namun, ibu Grandin, Eustacia (Julia Ormond), menolaknya dan memilih untuk membesarkannya sendiri.

Grandin pun tumbuh di lingkungan peternakan. Ia baru bisa bicara ketika berumur 4 tahun dan kerap kali diejek oleh teman-teman di sekolahnya. Dia kesulitan mempelajari pelajaran bahasa dan aljabar. Namun, ia memiliki kemampuan photographic memory yang luar biasa. Semua objek yang pernah dilihatnya, baik sekilas, atau sudah lama sekali, dapat digambarkannya secara rinci dan jelas. Bakat ini pertama kali diketahui oleh Professor Carlock (David Strathairn) selaku guru sains di sekolahnya. Ia menyadari Grandin melihat dunia dengan cara yang tidak biasa. Grandin bahkan bisa memecahkan masalah perspektif sudut pandang dan logika sains yang tidak dimengerti teman-teman sebayanya. Professor Carlock meyakinkan Temple untuk masuk universitas, dan membayangkannya sebagai sebuah 'pintu menuju dunia baru'. Grandin lulus dengan luar biasa dan masuk universitas.

Well, I am not cured, I'll always be autistic. My mother refused to believe that I wouldn't speak. And when I learned to speak, she made me go to school.- Temple Grandin

Ia mendalami peternakan dan penjagalan hewan. Tak jarang ia diusir dari peternakan yang dikunjunginya karena dianggap sok tahu dan menggangu. Namun akhirnya dia menciptakan sistem peternakan yang manusiawi dan efisien. Sistem ini didapatkan dari penelitian akan lenguhan hewan ternak dan kemampuan visualisasinya yang luar biasa hingga Grandin dapat memposisikan dirinya sebagai hewan ternak (berkat autismenya). Ia membuat tulisan-tulisan yang awalnya ditolak mentah-mentah oleh dosennya. Setelah perjuangan panjang, tulisannya dimuat di majalah-majalah tersohor kelas dunia. Ia juga menciptakan mesin peluk yang membuat anak-anak autis dapat merasakan hangatnya pelukan karena masalah bersosialisasi yang dialami anak autis.

Film ini benar-benar membangun, menumbuhkan keyakinan bahwa autis bukanlah akhir dari segalanya.

Temple Grandin


0 komentar:

Posting Komentar

Feel free to drop your comment.. Thanks! :D

 

Celoteh si Devi Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang

Blogger Templates