Cerpen ini telah di muat di mading Makers yang telah diikutsertakan dalam lomba mading di Untar.. enjoy! :D
"Ya, hari ini jadi kan?" bisik Tyo kepada Arya, teman semejanya sejak kelas X.
"Jadi apaan?" sahut Arya pelan.
"Ah, gak usah pura-pura lupa deh! Baru aja dibahas tadi pagi!” balas Tyo
geram. Teriakan Tyo menjadikannya pusat perhatian seisi kelas, termasuk Pak
Dani.
"Kalau mau ngobrol, sana di luar! Keluar sekarang juga! KELUAR!"
Arya menundukkan kepalanya sambil berjalan
keluar kelas diiringi Tyo yang nampak kegirangan. Benar-benar kontras. Mereka
akhirnya memutuskan untuk menghabiskan waktu di kantin.
Selama ini, Arya dikenal sebagai murid yang
cerdas dan penurut. Ia merupakan anak kesayangan para guru di sekolahnya.
Namun, Arya sering dikucilkan karena ibunya yang mengalami gangguan jiwa. Ia
pun akhirnya diasuh oleh pamannya yang berprofesi sebagai pembuat batu bata.
Sedangkan adik Arya, Deny, memilih untuk tetap tinggal bersama kedua orang
tuanya.
"Seburuk apapun mereka, aku harus
menjadi anak yang berbakti," kilah Deny saat diajak pindah oleh Arya
setahun yang lalu.
"Tapi disini kamu mesti kerja sebelum dan sepulang sekolah. Bagaimana kamu bisa
konsentrasi sekolah, Deny?" Jujur saja, sebenarnya ia tak tega melihat
adiknya yang bekerja siang malam sebagai loper koran dan pengamen, membanting
tulang sendirian demi menghidupi keluarga kecilnya itu.
"Aku nggak mau. Aku mau berbakti sama mereka!"
Sejak saat itu, mereka hanya berkomunikasi
lewat pesan singkat. Menurut kabar terakhir yang didapatnya, Deny baru saja
memasuki sebuah SMP Negeri di
dekat rumahnya.
Tyo menepuk pundak Arya keras. Arya yang
sedang melamun terlonjak kaget.
"Jadi gimana nih? Mau ikut nggak?" kata Tyo setengah memaksa.
Tyo sering memesan batu bata buatan paman
Arya. Mulanya, Arya tak ambil pusing akan hal tersebut. Namun, setelah
mengetahui bahwa batu tersebut digunakannya untuk tawuran, Arya bimbang. Hari
ini Tyo kembali memesan dua lusin batu bata. Arya sudah menduga bahwa Tyo akan
melakukan tawuran lagi sore ini. Tapi, Arya sama sekali tak mengira jika Tyo
akan menawarinya untuk turut serta dalam tawuran hari ini.
"Emang
kenapa sih harus ikut?" tanya Arya.
"Ini tawuran langka loh, lo bakalan
beruntung banget bisa ikutan. Lagian, kalo
lo ikut, lo gak bakal dikucilin
lagi," bujuk Tyo.
Kalau aku ikut pasti aku akan lebih disegani di sekolah. Selain itu,
hitung-hitung aku juga membantu paman menjajakan batu batanya. Jadi semuanya
untung, batin Arya
dalam hati.
"Baiklah, aku ikut!" ujar Arya
dengan keyakinan semu.
~~~~
Arya berdiri tepat di samping Tyo. Mereka
berada di deretan depan, menandakan merekalah yang memimpin tawuran ini. Tak
lama berselang, munculah serombongan anak lelaki berbalutkan kemeja putih dan
celana pendek biru. Arya terperangah. Murid-murid SMP !
Jadi ini yang dimaksud Tyo sebagai tawuran langka? SMA melawan SMP ?
"Ya, kali ini gue kasih lo kehormatan
buat memimpin. Sana, maju ke depan!” desak Tyo sambil mendorong Arya keras.
"A...aku? Tapi aku nggak tahu gimana caranya," sahut
Arya. Entah mengapa kakinya kini terasa lemas.
"Gampang kok, tinggal teriak
'SERAANGG!' terus lempar deh batunya. Ayo maju!”
Akhirnya, kini Arya berdiri sendiri di
depan. Sekilas matanya memindai lawan-lawannya. Ada yang berambut keriting,
berkulit sawo matang, bertubuh kurus kering, dan.... Astaga! Arya hampir tak
mempercayai penglihatannya. Ada Deny! Deny balas menatapnya dengan tatapan
terkejut. Sepertinya ia tak menduga akan bertemu kakaknya dalam situasi seperti
ini.
Seketika batu bata Arya terlepas dari
tangannya dan menumbuk tanah dengan keras. Mata Arya mulai berkunang-kunang.
"Arya! Lo kenapa? Buruan mulai!" Tyo mendesaknya.
Dari kejauhan, dilihatnya Deny
menggelengkan kepala.
Arya menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tak
lama kemudian, ia pun memungut batu batanya yang tadi sempat terjatuh. Sambil
menahan isak tangis, ia berseru membelah langit senja.
“SERAAANGG!!!”
0 komentar:
Posting Komentar
Feel free to drop your comment.. Thanks! :D