Jumat, 14 Desember 2012

Melangkahi Lorong Waktu

Cerpen ini mengisahkan tentang kehidupan di ibukota Indonesia ini, ibukota yang katanya lebih kejam dari pada ibu tiri. Selamat membaca! o3o


Aku memakai masker berwarna merah jambu favoritku. Sebenarnya, masker ini lebih cocok dikatakan berwarna merah tua dibanding merah jambu. Aku harus beli masker keluaran terbaru lagi rupanya. Masker yang lebih tebal, lebih bersih, dan lebih mahal tentunya. Heran, semakin lama masker yang diproduksi makin tebal saja, setebal asap yang menyelimuti pabriknya.

Kulangkahkan kaki menyusuri ruang tamu. Mama mana ya? Sepertinya sedang mandi. Ku sibakkan gorden yang menutupi jendela di ruangan berukuran 2 x 2 meter itu. Huh, pemandangan ini lagi. Bukit hijau berhiaskan bunga warna-warni dengan latar langit biru tanpa awan. Pemandangan yang diproyeksikan 24 jam setiap harinya oleh layar LCD yang dipasang disetiap jendela. Sejak halaman depan rumah... ups, sekeliling rumah maksudku, dipenuhi oleh sampah-sampah yang tak lain dan tak bukan merupakan hasil eksresi dari rumah ini, papa mulai membeli LCD demi LCD untuk menggantikan pemandangan yang memuakkan itu. Sama seperti tetangga-tetangga lainnya.

"Monique, ngapain kamu ngeliatin jendela itu?"

Oh, itu dia si mama. Tubuhnya nampak bersih sehabis mandi. Mandi dengan laser pembersih. Aku penasaran, bagaimana rasanya mandi dengan air, seperti yang sering diceritakan kakek? Hmm, sepertinya menyegarkan. Kalau sekarang aku berani mencoba mandi pakai air, aku pasti sudah dipenjara seumur hidup. Terang saja, mencari air kini bukan perkara mudah. Air di Jakarta kini 90% nya sudah tercemar oleh sampah. Untuk keperluan hidup seisi rumah saja, kami harus beli air impor dari kaki gunung Rokko, Kobe, Jepang. Karena harganya yang selangit, kami hanya diijinkan untuk minum dua gelas per hari, bukan dua liter seperti slogan-slogan yang sering kutemukan di kumpulan koran lama milik kakek.

"Gapapa kok ma, cuma iseng. Ma, aku mau beli masker baru dong! Yang ini kotor banget. Udah kulaser berkali-kali tetep aja kotor. Kalau kotor gini, percuma aja pakai masker, yang dihirup sama aja!"

Kulihat tatapan mama berubah menjadi aneh. Seperti... Seperti tatapan iba. Aneh, kenapa mama iba kepadaku? Entahlah. Mama mengeluarkan dompetnya yang terbuat dari plastik bekas makanan ringan. Di bagian depannya tertera tulisan ’Chuba’ yang selalu membuatku penasaran. ”Rasanya cetar membahana badai deh pokoknya!” promosi nenek waktu itu.

"Nih, lima puluh ribu, cukup kan?" ujar mama sambil menyodorkan selembar kertas daur ulang berukuran 3x4 cm. Kalau tidak ada tulisan '50 BI' di pojok kanannya, pasti sudah kukira sobekan kertas tak berarti.

"Ngg, kemarin aku lihat di katalog harganya udah naik jadi delapan puluh ribu."

Sesaat kulihat mama terperanjat. Dengan berat hati, ia sodorkan lagi selembar kertas yang identik. Uang dengan nominal seratus ribu itu pun berpindah ke tanganku. Kini, aku bersiap untuk berangkat ke toko masker langganan keluargaku. Kukenakan jaket merah, celana hitam panjang, sepasang sarung tangan, dan sepasang sepatu bot kesukaanku. Tak lupa kukenakan pula kacamata hitam milik kakek.

"Pergi dulu ya, ma!"

Dengan hati-hati aku melangkah keluar rumah. Takut menginjak serpihan botol kaca yang berserakan di jalan setapak depan rumahku. Aku tertegun melihat ratusan, atau bahkan ribuan kecoa berpesta pora di depan rumah Dini yang hanya beda dua rumah dari rumahku. Pasti mereka baru makan makanan organik. Wah, beruntung sekali mereka. Tak seperti aku yang setiap hari hanya disuguhi tablet-tablet daging yang hambar.

Eh, apa ini??! AAARRGH!! Aku menginjak kotoran kucing karena terlalu asyik melamunkan makanan apa yang dimakan oleh keluarga Dini. Duh, kenapa sih TPA bisa penuh?? Kan jadi kacau begini, semua sampah campur aduk di jalan. Giliran sudah parah baru mencari solusi. Gembar-gembor soal daur ulang, 3R, penghijauan, dan global warming disaat semuanya sudah terlambat. Dasar, manusia-manusia egois!

Akhirnya sampai juga di toko masker. Kutatap sebuah poster usang bekas kampanye pilkada tahun lalu yang masih tertempel di pintu toko. ”....nomor 5 untuk Jakarta 2027-2032 lebih baik!” Cih, janji-janji palsu! Dari dulu sampai sekarang tak berubah, hanya bermulut manis saat kampanye namun gelap mata saat menjabat. Rakyat pun terpaksa berputih mata lagi untuk kesekian kalinya.

"Pak, maskernya satu ya, yang warna hitam aja deh biar gak gitu kelihatan kalau kotor."

Penjaga toko yang tampaknya sudah tidak minum berhari-hari itupun membungkus pesananku. Kasihan juga melihatnya. Ia pasti belum mempunyai cukup uang untuk membeli air. Semua ini karena sampah!! Andai aku bisa kembali ke masa lalu, 2012 mungkin. Akan ku ajak seluruh penduduk dunia untuk menjaga keasrian bumi pertiwi dengan tindakan nyata, bukan sekadar janji. Ku tunjukkan bahwa perbuatan mereka akan menjadi bumerang di masa yang akan datang. Andai...

2 komentar:

Feel free to drop your comment.. Thanks! :D

 

Celoteh si Devi Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang

Blogger Templates