Cerpen ini mengisahkan tentang kehidupan di ibukota Indonesia ini, ibukota yang katanya lebih kejam dari pada ibu tiri. Selamat membaca! o3o
Aku memakai masker berwarna merah
jambu favoritku. Sebenarnya, masker ini lebih cocok dikatakan berwarna merah tua
dibanding merah jambu. Aku harus beli masker keluaran terbaru lagi rupanya.
Masker yang lebih tebal, lebih bersih, dan lebih mahal tentunya. Heran, semakin
lama masker yang diproduksi makin tebal saja, setebal asap yang menyelimuti
pabriknya.
Kulangkahkan kaki menyusuri ruang tamu. Mama mana ya? Sepertinya sedang
mandi. Ku sibakkan gorden yang menutupi jendela di ruangan berukuran 2 x 2
meter itu. Huh, pemandangan ini lagi. Bukit hijau berhiaskan bunga warna-warni
dengan latar langit biru tanpa awan. Pemandangan yang diproyeksikan 24 jam
setiap harinya oleh layar LCD yang dipasang disetiap jendela. Sejak halaman
depan rumah... ups, sekeliling rumah maksudku, dipenuhi oleh sampah-sampah yang
tak lain dan tak bukan merupakan hasil eksresi dari rumah ini, papa mulai
membeli LCD demi LCD untuk menggantikan pemandangan yang memuakkan itu. Sama
seperti tetangga-tetangga lainnya.
"Monique, ngapain kamu ngeliatin jendela itu?"
Oh, itu dia si mama. Tubuhnya
nampak bersih sehabis mandi. Mandi dengan laser pembersih. Aku penasaran,
bagaimana rasanya mandi dengan air, seperti yang sering diceritakan kakek? Hmm,
sepertinya menyegarkan. Kalau sekarang aku berani mencoba mandi pakai air, aku
pasti sudah dipenjara seumur hidup. Terang saja, mencari air kini bukan perkara
mudah. Air di Jakarta kini 90% nya sudah tercemar oleh sampah. Untuk keperluan
hidup seisi rumah saja, kami harus beli air impor dari kaki gunung Rokko, Kobe,
Jepang. Karena harganya yang selangit, kami hanya diijinkan untuk minum dua
gelas per hari, bukan dua liter seperti slogan-slogan yang sering kutemukan di
kumpulan koran lama milik kakek.
"Gapapa kok ma, cuma iseng. Ma, aku mau beli masker baru dong! Yang ini kotor banget. Udah kulaser
berkali-kali tetep aja kotor. Kalau
kotor gini, percuma aja pakai masker,
yang dihirup sama aja!"
Kulihat tatapan mama berubah menjadi aneh. Seperti... Seperti tatapan iba.
Aneh, kenapa mama iba kepadaku? Entahlah. Mama mengeluarkan dompetnya yang
terbuat dari plastik bekas makanan ringan. Di bagian depannya tertera tulisan
’Chuba’ yang selalu membuatku penasaran. ”Rasanya cetar membahana badai deh
pokoknya!” promosi nenek waktu itu.
"Nih, lima puluh ribu, cukup
kan?" ujar mama sambil
menyodorkan selembar kertas daur ulang berukuran 3x4 cm. Kalau tidak ada
tulisan '50 BI' di pojok kanannya, pasti sudah kukira sobekan kertas tak
berarti.
"Ngg, kemarin aku lihat di
katalog harganya udah naik jadi
delapan puluh ribu."
Sesaat kulihat mama terperanjat. Dengan berat hati, ia sodorkan lagi
selembar kertas yang identik. Uang dengan nominal seratus ribu itu pun
berpindah ke tanganku. Kini, aku bersiap untuk berangkat ke toko masker langganan
keluargaku. Kukenakan jaket merah, celana hitam panjang, sepasang sarung
tangan, dan sepasang sepatu bot kesukaanku. Tak lupa kukenakan pula kacamata
hitam milik kakek.
"Pergi dulu ya, ma!"
Dengan hati-hati aku melangkah keluar rumah. Takut menginjak serpihan botol
kaca yang berserakan di jalan setapak depan rumahku. Aku tertegun melihat ratusan,
atau bahkan ribuan kecoa berpesta pora di depan rumah Dini yang hanya beda dua
rumah dari rumahku. Pasti mereka baru makan makanan organik. Wah, beruntung
sekali mereka. Tak seperti aku yang setiap hari hanya disuguhi tablet-tablet
daging yang hambar.
Eh, apa ini??! AAARRGH!! Aku menginjak kotoran kucing karena terlalu asyik
melamunkan makanan apa yang dimakan oleh keluarga Dini. Duh, kenapa sih TPA bisa penuh?? Kan jadi kacau begini, semua
sampah campur aduk di jalan. Giliran sudah parah baru mencari solusi. Gembar-gembor soal daur ulang, 3R, penghijauan, dan global warming disaat semuanya sudah
terlambat. Dasar, manusia-manusia egois!
Akhirnya sampai juga di toko
masker. Kutatap sebuah poster usang bekas kampanye pilkada tahun lalu yang
masih tertempel di pintu toko. ”....nomor 5 untuk Jakarta 2027-2032 lebih
baik!” Cih, janji-janji palsu! Dari dulu sampai sekarang tak berubah, hanya
bermulut manis saat kampanye namun gelap mata saat
menjabat. Rakyat pun terpaksa
berputih mata lagi untuk kesekian kalinya.
"Pak, maskernya satu ya, yang warna hitam aja deh biar gak gitu kelihatan
kalau kotor."
Penjaga toko yang tampaknya sudah tidak minum berhari-hari itupun
membungkus pesananku. Kasihan juga melihatnya. Ia pasti belum mempunyai cukup uang
untuk membeli air. Semua ini karena sampah!! Andai aku bisa kembali ke masa
lalu, 2012 mungkin. Akan ku ajak seluruh penduduk dunia untuk menjaga keasrian
bumi pertiwi dengan tindakan nyata, bukan sekadar janji. Ku tunjukkan bahwa
perbuatan mereka akan menjadi bumerang di masa yang akan datang. Andai...
Cerpen yang sangat menginspiratif! Kreatif! (y)
BalasHapusBener? Makasih! o3o
BalasHapus