Cerpen karya Lan Fang ini benar-benar apik dan terjalin dengan rapi (bagi saya). Sederhana, tapi sarat makna. Pertama kali mengetahuinya dari ulangan Bahasa Indonesia analisis cerpen. Credit to lakonhidup.wordpress.com/2010/03/28/festival-topeng/
Cerpen Lan Fang (Jawa Pos, 28 Maret 2010)
1. Tidak ada
PERKENALKAN, namaku Prameswari. Kata orang tuaku, arti namaku adalah permaisuri. Karena aku dilahirkan dengan kecantikan seorang putri. Jadi sudah sepantasnya kalau orang tuaku berharap aku memiliki kemewahan hidup seorang permaisuri.
“Nasibmu akan menjadi istri pejabat tinggi yang kaya raya. Paling tidak pangkat suamimu itu adalah kepala desa,” begitulah ibu berharap aku mendapatkan suami yang kaya, berpangkat, dan mempunyai jabatan tinggi.
Nah, suamiku bernama Drajat Hartono. Kata orang tuanya, arti namanya adalah laki-laki yang berderajat dan berharta. Tetapi ternyata tidak ada hubungannya antara nama dengan nasib manusia. Karena suamiku bukan kepala desa apalagi pejabat tinggi yang kaya raya. Suamiku cuma seorang pembuat topeng.
Suamiku membuat wajah-wajah dari kayu. Ia membentuk kayu-kayu itu menjadi wajah tokoh-tokoh pewayangan. Ada wajah Kresna, manusia setengah dewa, titisan Dewa Wisnu. Ada wajah Bisma, putra Gangga, satria Hastinapura yang tidak bisa mati. Ada wajah Arjuna, salah satu Pandawa yang paling dipuja. Sampai ada pula wajah Durna, guru Hastinapura yang sangat dihormati.
Selain membuat topeng-topeng dengan wajah wayang, suamiku juga menerima pesanan topeng wajah yang disesuaikan dengan kehendak pemesannya. Ada yang memesan topeng wajah dengan mimik sedang tertawa lebar atau sedang tersenyum simpul. Ada juga yang minta dibikinkan topeng berwajah bijaksana dan berwibawa.
Sebetulnya aku kesal dengan pekerjaan suamiku. Karena pekerjaannya ini tidak menghasilkan uang setiap hari. Padahal kami butuh uang untuk makan setiap hari, bukan?
Bayangkanlah, setiap hari suamiku membuat berbagai macam topeng kayu. Ia menyerut kayu sampai permukaannya menjadi halus. Lalu membentuk mata, hidung, mulut dengan telaten sehingga topeng kayu itu benar-benar menyerupai wajah manusia. Tetapi sampai saat ini tidak ada yang membelinya.
Akhirnya, topeng-topeng itu hanya menumpuk di seluruh sudut ruangan rumah. Topeng-topeng itu tumpang tindih satu sama lain. Mata beradu telinga, telinga beradu hidung, hidung beradu mulut, mulut beradu mata. Kadang-kadang aku melihat mereka saling diam. Tetapi aku lebih sering melihat mereka bertengkar dan saling menggigit satu sama lain karena berebut tempat yang lebih leluasa.
“Minggir! Ini tempatku!”
“Tidak. Kau saja yang ke pinggir.”
“Rupanya kau mau kutendang, ya?”
Begitulah, aku kerap mendengar keributan mereka. Bukan itu saja. Mereka juga saling menyikut dan menendang sehingga tumpukan topeng-topeng itu selalu bergerak. Kadang-kadang hendak rubuh, tetapi kemudian mereka segera berkelompok untuk saling bergandengan. Misalnya, para topeng Durna berkelompok dengan sesama topeng Durna. Dan para topeng Arjuna menyatukan diri dengan para topeng Arjuna lainnya. Atau kelompok topeng berwajah bijak berkumpul bersama-sama. Sedangkan topeng-topeng yang tersenyum simpul pun mengelompokkan diri mereka sendiri.
“Kangmas, mungkin topeng-topeng itu hendak menyerang kita. Sepertinya mereka sedang merencanakan suatu konspirasi besar-besaran,” kataku gelisah.
“Tidak apa-apa. Mereka hanya menginginkan etalase, sebuah tempat terhormat untuk memajang wajah mereka,” sahut suamiku tanpa mempedulikan kegelisahanku. “Tetapi kita tidak perlu membeli etalase. Karena pada waktunya nanti, topeng-topeng itu akan habis terjual semua. Dan topeng-topeng itu akan menyiapkan etalase untuk diri mereka sendiri,” sahut suamiku. Selengkapnya..