Tulisan berikut diikutsertakan dalam
'Sekolah Dambaanku Blog Competition'
Setiap orang pasti memiliki angan tersendiri dalam hidupnya. Bisa jadi pacar idaman, rumah impian, atau bahkan sekolah dambaan. Ya, setiap individu yang terlibat di dalam sekolah, baik itu guru, kepala sekolah, pegawai, dan tentunya para siswa, pasti memiliki bayangan tersendiri akan institusi yang satu ini. Tak terkecuali saya yang sudah 11 tahun merasakan pahit-manisnya dunia pendidikan di Indonesia.
Sekolah bagaikan rumah kedua bagi para siswa. Pasalnya, siswa menghabiskan sepertiga harinya (bahkan lebih) untuk bersekolah. Sebagai tempat untuk menuntut ilmu, sekolah memiliki beberapa aspek yang saling berkaitan dan mendukung satu sama lain. Aspek-aspek tersebut antara lain guru, fasilitas sekolah, lingkungan sekolah, hubungan guru dan orang tua, hubungan antar siswa, mata pelajaran, tugas dan pekerjaan rumah, serta bentuk ujian kelulusan. Seluruh aspek tersebut sama pentingnya dan perlu diperhatikan oleh seluruh warga sekolah agar situasi sekolah yang kondusif-efektif dapat tercapai.
Sekolah dambaan menurut versi saya, merupakan sebuah sekolah di mana aspek-aspeknya saling bersatu padu menjadi koheren dan solid. Berikut uraian empat aspek yang saya tekankan dalam sekolah dambaan saya:
1. GURU
Siswa mana yang tidak kenal dengan "Pahlawan tanpa tanda jasa" yang satu ini? Menurut saya, julukan tersebut tidaklah berlebihan: mayoritas guru di Indonesia memang patut dijuluki sebagai pahlawan tanpa tanda jasa alias kurang dihargai. Banyak guru yang memiliki bakat dan potensi kurang dihargai dan diperhatikan oleh pihak sekolah maupun pemerintah. Gaji rendah, jam kerja yang padat, sulitnya mendapatkan sertifikasi dan kurangnya penghargaan menjadikan guru kurang termotivasi untuk memberikan performa terbaik mereka saat mengajar. Ada yang sering terlambat masuk kelas, hanya memberikan soal-soal latihan tanpa bimbingan yang memadai, hingga (ter)tidur di kelas.
Profesi guru menjadi momok tersendiri dan baru dilakoni jika cita-cita utama gagal. Berbeda dengan yang terjadi di negara maju, menjadi guru di Indonesia adalah hal yang mudah. Banyak guru yang memiliki gelar non S.Pd, alias mereka pada awalnya jelas-jelas tidak memutuskan untuk menjadi guru. Profesi guru dianggap sebagai 'profesi cadangan'. Tidak ada ekslusifitas dan kualifikasi tersendiri untuk menjadi seorang guru. Padahal, untuk menjadi guru dibutuhkan kemampuan untuk mendidik yang lebih ditekankan bagi mereka yang hendak mendapatkan gelar S.Pd, bukan sekadar pandai dalam hal materi pelajaran.
Seandainya sekolah dambaan saya menjadi kenyataan, saya menginginkan agar para guru mendapatkan perhatian dan penghargaan khusus dari pihak sekolah maupun pemerintah. Dengan demikian, para guru memiliki mood booster dan lebih terpacu untuk melakukan performa terbaiknya. Selain itu, saya mendambakan guru menjadi sebuah profesi ekslusif dan terpandang yang sejajar dengan dokter, pengacara, bahkan politikus. Mereka yang hendak menjadi guru harus siap dan mampu mengemban tugas untuk mentransfer ilmunya dengan baik kepada murid-muridnya. Akhirnya, proses belajar-mengajar yang ada menjadi lebih efektif dan efisien.
2. FASILITAS DAN LINGKUNGAN SEKOLAH
Fasilitas dan lingkungan sekolah juga ikut andil dalam menciptakan situasi belajar-mengajar yang kondusif. Fasilitas yang terdapat dalam sekolah tidak perlu terlalu berlebihan (kolam renang, pusat kebugaran, dsb), yang terpenting adalah fasilitas tersebut memadai dan mendukung kegiatan belajar mengajar. Menurut saya, fasilitas yang ada di sekolah saya sudah cukup menggambarkan fasilitas yang memadai. Fasilitas yang diperuntukkan bagi siswa antara lain: R. kelas, Toilet, UKS, Perpustakaan, Lapangan, Kantin, Laboratorium (fisika, kimia, biologi, bahasa inggris), R. Komputer, R. Musik, R. Senam, R. Serbaguna, R. OSIS, R. Konseling, R. Doa, R. Audio visual, Auditorium, serta Toko sekolah. Tidak lupa fasilitas penunjang juga disediakan untuk guru dan karyawan yaitu: R. Tata usaha, R. Guru, R. Kepala sekolah, Pantry, Gudang, serta Toilet khusus guru dan karyawan.
Lingkungan sekolah yang dibutuhkan adalah sebuah lingkungan yang asri, rindang, bersih, dan tenang sehingga dapat meningkatkan konsentrasi siswa dan memacu semangat belajar-mengajar guru dan siswa. Untuk mewujudkannya, butuh tekad dan aksi dari seluruh unsur sekolah. Bukan hanya karyawan dan guru saja, siswa yang notabene jumlahnya paling banyak juga harus turut menjaga kenyamanan lingkungan sekolah. Hendaknya sekolah memberlakukan (benar-benar memberlakukan, tidak hanya ditulis dalam peraturan sekolah saja) sanksi yang menimbulkan efek jera bagi mereka yang mencederai kenyamanan lingkungan sekolah (membuang sampah sembarangan, membuat kegaduhan, dsb) serta memberikan ganjaran yang setimpal bagi siswa yang menjaga lingkungan sekolah sehingga lingkungan sekolah yang kondusif bagi kegiatan belajar mengajar dapat dipertahankan.
3. TUGAS DAN PEKJERJAAN RUMAH
Tugas dan pekerjaan rumah sangat diperlukan bagi para siswa agar dapat melatih diri dan mengulang pelajaran yang telah dibahas di sekolah. Namun terkadang, banyak pekerjaan rumah yang 'berbentrokan' dalam satu hari. Terlalu banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam waktu yang singkat sehingga banyak siswa yang memutuskan untuk mencari jalan tengah yaitu dengan cara menyalin pekerjaan teman. Hal ini sudah lazim terjadi sehingga sudah dianggap sebagai 'kebohongan putih'.
Tugas yang diberikan kepada murid seharusnya tidak berlebihan. Caranya, guru berkomunikasi dengan guru yang lain perihal tugas yang akan diberikan kepada suatu kelas dan juga jadwal pengumpulannya. Kemudian, guru merundingan jumlah tugas yang tidak berlebihan serta jadwal pengumpulan yang tidak berbentrokan. Dengan demikian, penumpukan tugas pada hari tertentu dapat dihindari.
Masalah yang sering terjadi pada siswa pada saat mengerjakan tugas adalah kebosanan. Hal ini terjadi karena tugas yang diberikan terlalu teoritis, monoton, dan tidak menarik. Oleh karena itu, guru dituntut agar dapat memberikan tugas yang tidak menyulitkan para siswa namun materi pelajaran tetap dapat tersampaikan dengan baik. Untuk pelajaran biologi misalnya, dapat diberikan tugas per kelompok untuk membuat model-model sel (sel saraf, sel epitel, dsb) beserta keterangan dan penjelasannya. Kemudian, masing-masing kelompok mempresentasikan hasil karyanya di depan kelas.
Bisa juga soal yang diberikan tidak terlalu monoton yaitu dengan menyajikan soal dalam bentuk soal cerita. Untuk pelajaran fisika misalnya, soal mengenai energi dapat dibuat menjadi lebih menarik dengan cara menjadikannya soal cerita seperti berikut:
Soal tersebut tentunya lebih menarik dibandingkan soal to the point yang terasa menjemukan.
"Pada saat makan siang, Andi yang bermassa 70 kg memakan roti isi daging yang mengandung energi sebesar 1000 kJ. Andi ingin menghilangkan energi dari roti tersebut dengan cara melakukan push up. Setiap push up, ia harus menaikkan pusat massanya setinggi 20 cm dari tanah. Berapa banyak push up yang harus ia lakukan?".
Soal tersebut tentunya lebih menarik dibandingkan soal to the point yang terasa menjemukan.
4. BENTUK UJIAN AKHIR
Bentuk ujian akhir yang ada saat ini menurut saya terlalu berorientasi pada nilai. Selain itu, bentuk ujian yang ada saat ini juga lebih mementingkan kepada hasil ujian yang lebih bersifat instan (3-4 hari) dan kurang mementingkan proses yang telah dilalui (bertahun-tahun di SD, SMP, atau SMA dapat gagal karena ujian ini). Hal ini menyebabkan masyarakat memandang prestasi belajar hanya dari pencapaian nilai yang tinggi, bukan pada prosesnya. Akibatnya, siswa dipaksa untuk mencapai nilai yang tinggi. Tak heran jika siswa akhirnya menghalalkan berbagai cara untuk menghindari kegagalan. Mulai dari menyontek, membeli kunci jawaban, dan melakukan kecurangan-kecurangan lainnya.
Saya pernah membaca sebuah artikel yang menceritakan tentang sistem pendidikan yang berlaku di Jepang. Ada satu hal yang menarik bagi saya: semua siswa di Jepang pasti naik kelas dan lulus. Bukan karena semua siswa di Jepang memiliki otak brilian, ada juga yang rata-rata, sama seperti di Indonesia. Bedanya, mereka yang kurang memahami suatu materi dan gagal pada ujian kenaikan kelas (ada nilai merah istilahnya) tetap naik kelas. Para gurulah yang bertanggung jawab untuk mengajarkan materi tersebut selama libur musim panas sampai anak tersebut cukup mengerti dan bisa mengikuti tahun ajaran berikutnya.
Begitu pula dengan ujian akhir. Ujian akhir yang diselenggarakan sama dengan ujian kenaikan kelas dan semua siswa pasti lulus. Yang membedakan ujian kenaikan kelas dengan ujian akhir adalah ujian akhir dipergunakan sebagai bahan acuan untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya, apakah siswa tersebut mampu untuk masuk ke sekolah favorit atau tidak. Dengan demikian, tidak terjadi pemborosan waktu dan biaya, siswapun 'hemat umur'.
Saya membayangkan alangkah baiknya jika Indonesia dapat mengadaptasi sistem pendidikan di Jepang. Setidaknya, ujian akhir yang diselenggarakan bukan menjadi patokan lulus tidaknya siswa tersebut, melainkan sebagai bahan evaluasi bagi sekolah, guru, dan dunia pendidikan di Indonesia.
Satu lagi, menurut saya ujian yang hanya terpaku pada teori juga kurang efektif. Pasalnya, yang nantinya akan lebih dibutuhkan di dunia 'nyata' alias dunia kerja adalah kemampuan praktik (skill) dan perilaku. Oleh karena itu, ujian akhir berbentuk praktik yang mengutamakan kemampuan dan perilaku juga perlu dilaksanakan agar siswa tidak 'kaget' begitu memasuki dunia kuliah dan dunia kerja.
Itulah bayangan saya akan sekolah dambaanku. Harapan saya bagi pendidikan di Indonesia adalah semoga pendidikan di Indonesia dapat selangkah lebih maju (berikutnya baru bisa berlari bersama negara-negara lain) dan harapan saya akan sekolah dambaan bisa terealisasikan walaupun tidak sampai 100%. Bagaimana bayanganmu akan sekolah dambaan?
Semoga bisa mendapatkan hasil terbaik ya, tulisan ini!
BalasHapus