Aku mengalungkan kamera DSLR
hitamku di leher seraya memikul ransel merah muda kesayanganku. Dari saku kanan
celana jeans, kukeluarkan sebentuk notes
berisi check list. Untuk mengecek
barang-barang bawaanku, seperti biasa. Kamera, check! Bekal, pasti! Laptop, yup! Nametag… ya ampun! Aku lupa mencetak nametag-ku!
Buru-buru aku menyalakan laptop
dan membuka email dari Amsterdam Street Photographer Community yang berisi soft file nametag-ku. Dasar Kinanty!
Untung saja masih ada satu jam lagi sebelum bus nomor 70 yang menuju Giethoorn
itu berangkat. Jangan sampai aku ketinggalan program day trip pertamaku ini.
Bikin malu saja.
Ya, ini adalah pengalaman traveling pertamaku. Mendengar
kawan-kawan yang sering backpacker-an
di kampus lama-lama membuatku iri juga. Akhirnya berbekal kamera DSLR hadiah
ulang tahunku dua tahun silam, aku nekat bilang ya saat di ajak Sonya traveling sekaligus berburu foto-foto cantik
bersama kawan-kawan anggota ASPC tempatnya bergabung. Jadilah Sabtu pagi ini
bukannya malas-malasan sambil blogging
seperti biasanya, aku malah bangun pagi dan menyetting kameraku. Jalan-jalan ke
Venice van Holland, yippie!
Setelah berpamitan dengan orang
tua asuh tempatku tinggal selama di Belanda, aku naik sepeda menuju stasiun utama di Amsterdam. Dinginnya udara
dan satu-dua salju yang melayang jatuh tak menyurutkan kayuhan kakiku. Gumpalan
putih itu ada di mana-mana, menandakan bulan Desember telah tiba. Lebih dari
itu, hari ini tanggal 31 Desember. Kau tahu artinya kan? Malam tahun baru!
Sehabis
traveling, sudah kuputuskan akan
menginap di Hotel de Harmonie yang terletak di Giethoorn, sekamar dengan Sonya.
Tiba-tiba kurasakan getaran dari
saku kiri celanaku. Rupanya Sonya mengirim SMS.
‘Waar zit je?! Schiet op!(1)’
Aku tersenyum kecil dan membalasnya
santai.
‘Ik ben op mijn manier. Kijken naar de sneeuw valt op de grond. Voortreffelijk.(2)’
Sonya pasti mencak-mencak membaca
balasanku, aku bisa membayangkan wajahnya yang putih kini memerah, kepalanya dengan
rambut pirang berombak itu ditumbuhi sepasang tanduk dan telinganya mulai
mengeluarkan asap putih…. Oke, oke. Aku memang lebay.
Sampailah aku di Amsterdam Central
Station. Dengan menumpangi kereta, aku menuju Zwolle. Memandangi putihnya salju
dari balik jendela kereta, ponselku kembali bergetar. Ya, Sonya lagi.
'Ik ben serieus! De helft van de groep al aanwezig. Je moet snel zijn
als je niet wilt worden gelaten!(3)’
Kubalas SMS itu cepat, menyatakan
bahwa aku tengah naik kereta yang ditarik rusa-rusa milik Sinterklas dengan
kecepatan cahaya.
Aku sampai di Zwolle dengan utuh.
Kini aku harus menyambung shuttle bus antar stasiun, lalu menyambung lagi dengan
bus nomor 70 yang akan mengantarku ke meeting
point. Tak kusangka pengalaman pertama travelling-ku
selancar ini!
Duduk di stasiun, membiarkan angin
membelai rambut hitam sebahuku, membuat memori masa kecilku terputar lagi. Aku menontonnya
dalam pikiranku, seolah layar lebar terpampang jelas dihadapanku. Teringat akan
Mama dan Papa, Rudi kakakku dan tunangannya Tiara. Tak terasa sudah dua tahun
kami tidak bertatap muka. Bagaimana kabar mereka? Aku harus menelpon mereka
tahun baru nanti. Ingatanku melompat lebih jauh, ke masa-masa ketika aku masih
berbalutkan seragam putih biru. Satu nama melintas di otakku. Kolki.
“Kolki, aku dengar kamu mau
ngelanjutin sekolah di luar negeri ya?” aku bertanya hari itu, seusai upacara
pelepasan murid-murid kelas tiga. Hatiku sangat sedih, mengingat aku diam-diam
menyimpan rasa padanya selama tiga tahun ini. Dia Kolki, lelaki pertama yang
membuatku mengecap manisnya rasa jatuh cinta. Sayang aku terlalu kolot,
membiarkan rasa itu tumbuh tanpa memberi pertanda sedikitpun padanya. Berharap
Kolki membaca pikirannku, menerjemahkan perasaanku, dan lebih dulu menyatakan
cinta padaku. Namun saat itu tak kunjung tiba, malah sahabatku sendiri Hyena
yang berani menembak Kolki. Ya, mereka menjalin hubungan pada akhirnya.
“Ya. Kau tahu kan kakekku tinggal
di Belanda, bukan? Ia ingin aku tinggal bersamanya. Orang tuaku setuju, apalagi
masa depanku lebih cerah jika bisa meraih gelar sarjana di sana,” Kolki menjawab
panjang, jelas, formal. Tak seperti biasanya. Aku berharap dia akan menggodaku
seperti ‘Jangan rindukan aku ya, fans
terbesar dan terberatku!’ atau ‘Tentu, susul aku kalau kau bisa!’
Brmmmm…..
Deru bis membuyarkan lamunanku.
Tunggu dulu, deru bis? Benar saja, bis hijau dengan aksen biru itu sudah melaju
menjauh, semakin lama semakin mengecil. Itu bis nomor 70 yang sedang kutunggu!
“Wacht op mij!!(4)”
Aku berlari mengejarnya. Percuma
saja, hanya gulungan asap putih yang kudapatkan. Terpaksa aku harus menunggu
bis berikutnya.
“Sorry, wanneer de volgende bus zal aankomen bestemming Giethoorn?(5)”
Tanyaku putus asa pada petugas
yang ada di sekitar halte.
“Een uur.”
Een uur? Satu jam? Seketika aku
langsung lemas. Ponselku bergetar lagi untuk ketiga kalinya hari ini.
‘Je niet waar, Kinan?(6)’
‘Uh, Sonya, Ik heb de bus gemist. Ik heb nog een uur. Het lijkt alsof
je moet vertrekken. Gaan.(7)’
‘Wat, Kinan?! Umm, ziet eruit alsof je om alleen te reizen. We
ontmoetten in het hotel later.(8)’
Akhirnya perjalanan yang kukira lancar
jaya mulus tanpa hambatan malah berakhir seperti ini. Ya sudahlah, solo
travelling juga tak terlalu buruk. Akupun sampai satu jam kemudian dan membeli
tiket bis air untuk menyusuri kanal-kanal yang mulai membeku. Oh ya, apa aku
belum bilang kalau hampir tidak ada jalan darat di sini? Jalan-jalan kecil
hanya diperuntukan bagi pejalan kaki dan pengguna sepeda, sedangkan jalan utama
di sini adalah lewat jalur air. Itulah yang membuat Giethoorn mendapat julukan
Venice van Holland.
Memandangi pepohonan memutih
tertutup salju serta rumah-rumah tradisional membuatku terlena. Di kiri dan
kanan sungai, kau akan menumukan puluhan rumah yang mirip dengan penggambaran
dalam dongeng-dongeng. Bagian depannya terbuat dari bata, sedangkan bagian
belakangnya terbuat dari kayu. Berdasarkan browsing di internet semalam, aku
mengetahui bahwa dinas kota sudah menetapkan standar ketetapan membangun rumah
di sana demi menjaga citra Giethoorn itu sendiri.
Beberapa foto apik berhasil
kubidik dari bis air ini. Hmm, akan kupamerkan pada Sonya nanti! Sambil
menikmati pemandangan, aku mulai menyenandungkan sebuah lagu favoritku, Ada
Cinta.
Mengapa berat ungkapkan cinta, padahal ia ada
Dalam rinai hujan, dalam terang bulan, juga dalam sedu sedan
Mengapa sulit mengaku cinta, padahal ia terasa
Dalam rindu dendam, hening malam
Cinta terasa ada
Tak terasa air mataku menitik. Aku
memang selalu teringat pada Kolki jika mendendangkan lagu ini. Sepertinya suara
cemprengku terlalu keras, buktinya kini pria yang duduk di depanku tengah menatap
kearahku. Rambut pendeknya yang kecoklatan membingkai wajah putih berbintik
merah itu. Cukup tampan. Tapi, jika rambut coklat itu kubayangkan berwarna
hitam, dan bintik merah itu kuhilangkan, rasanya aku mengenalinya.
“Hmm, are you Indonesian?”
“Yes. And you..”
“Aku juga orang Indonesia! Wah
senangnya bertemu orang Indonesia di sini!”
Apa? Dia juga orang Indonesia?
Berarti dia mengerti dong apa yang tadi kunyanyikan? Kurasakan aliran darah
mengumpul di pipiku. Uh, aku malu, apalagi pakai acara nangis segala!
“Uh oh. Ya, aku juga. Ngomong-ngomong
aku Kinan, Kinanty Hemandi,” ujarku sambil mengulurkan tangan.
"Kinan? Is this really you?”
Aku mengrenyitkan dahi. Kepingan
puzzle itu mulai tersusun dalam benakku.
“Kolki?” aku bertanya penuh harap.
“Nope. Kau salah orang.”
Hampir saja aku tertipu kalau tak
ku lihat sorot mata jenaka itu. Sorot mata yang selama ini membayangi mimpi
terliarku. Ups, jangan berpikiran yang aneh-aneh ya. Mimpiku sebatas berpegangan
tangan sambil berjalan-jalan di sebuah taman dengannya. Itu saja.
“Kau kira bisa menipuku, hah?
Sejak kapan rambutmu menjadi coklat? Lalu bintik-bintik merah itu?”
“Ya, aku baru saja menjadi objek
percobaan penemuan baru bernama cat rambut. Dan soal bintik ini, pernahkah kau
mendengar sebuah penyakit akut mematikan bernama jerawat? Aku mengidapnya.”
“Huh! Iya aku tahu itu cat rambut
kok, aku hanya mengetes saja. Jerawat? Dasar jorok! Aku tidak pernah tuh
berkenalan dengan yang namanya jerawat.”
“Masa? Bagaimana dengan tonjolan
merah di hidungmu, saat kita kemping pramuka di sekolah delapan lalu? Saat kita
kelas satu SMP?”
Wajahku memerah, malu.
“Kau masih ingat?”
Tak pernah kusangka Kolki juga memperhatikanku, bahkan hingga ke detail terkecil seperti itu. Kulihat ia tertegun sejenak, lalu salah tingkah. Pipinya yang bertabur bintik merah tambah memerah. Mungkinkah ia… malu? Kolki beranjak dan duduk di sebelahku yang kosong. Bis air itu agak limbung saat ia berpindah.
Tak pernah kusangka Kolki juga memperhatikanku, bahkan hingga ke detail terkecil seperti itu. Kulihat ia tertegun sejenak, lalu salah tingkah. Pipinya yang bertabur bintik merah tambah memerah. Mungkinkah ia… malu? Kolki beranjak dan duduk di sebelahku yang kosong. Bis air itu agak limbung saat ia berpindah.
“Umm, ya. Mengingatkanku betapa
joroknya dirimu dulu.”
“Jadi sekarang aku bersih?” aku
menggodanya. Reaksinya tak seperti dugaanku, bukannya membantah ia malah
mengangguk malu. Ada apa ini?
“Oh ya, bagaimana kabar Hyena?”
Ah, sial! Dasar Kinan bodoh, bodoh, bodoh! Malah merusak suasana sebagus ini. Kapan lagi bisa duduk di sebelah Kolki, dikelilingi pemandangan menakjubkan sebuah kota apung cantik seperti ini?
“Itu kan sudah lima tahun yang
lalu. Kami sudah berpisah baik-baik sejak keberangkatanku ke Belanda. Ngg,
jujur saja sebenarnya aku menerima Hyena karena tak tega menolaknya.”
Loh, loh, mengapa ia menceritakannya
padaku yang bukan siapa-siapanya? Aku kebingungan, namun berusaha tampil biasa
saja. Sama seperti dulu ketika aku menyembuyikan perasaanku selama
bertahun-tahun.
Perlahan bis air yang kami
tumpangi berhenti. Telah tiba di halte terakhir rupanya. Uh, benar-benar saat
yang tidak tepat! Sang supir sudah menuruni singgasananya, seiring dengan
penumpang terakhir yang satu per satu mulai turun. Tiba-tiba saja Kolki berlari
mengejar sang supir, meninggalkanku duduk sendiri di atas bis air ini.
Kuperhatikan dari jauh, Kolki terlibat perbincangan serius, lalu Kolki
menyerahkan beberapa lembar Euro, dan kembali dengan wajah jahil.
“Kolki! Jangan bilang kalau kamu
tadi…”
“Menyewa bis ini seharian penuh
untuk kita berdua! Tepat sekali, nona!”
Aku tertegun. Teringat pengalaman
yang mirip dengan ini empat tahun silam, ketika Kolki menyewa becak dan
mengantarku keliling kota Bekasi sepanjang sore. Waktu itu ia kalah peringkat
di kelas dariku, ia peringkat tiga sedangkan aku peringkat dua. Kami telah
membuat kesepakatan, yang kalah akan menuruti segala keinginan sang pemenang.
Aku senang sekali mengerjainya kala itu. Tapi akhirnya, Kolki sakit karena
kelelahan. Selama liburan kenaikan kelas, bolak-balik aku menjenguk Kolki.
Hampir satu minggu ia terkapar, ternyata ia memang tidak boleh kelelahan. Kolki
bodoh, ia kan bisa saja mengatakannya padaku sehingga tidak membuatku merasa
bersalah.
Kolki kini duduk di singgasana
sang supir bis. Aku duduk di sebelahnya.
“Sebaiknya kau mulai
mempertimbangkan profesi ini, Kolki. Kau tampak cocok sekali!” aku mengejeknya
sepenuh hati. Sudah lama kami tidak bertukar ejekan seperti ini.
“Sepertinya matamu sudah perlu
diperiksa. Tidakkah menurutmu aku terlalu tampan untuk menjadi supir bis?”
Ya, kau memang terlalu tampan untuk menjadi supir bis. Kau cocoknya
menjadi suamiku!
“Cih, cerminpun tak mampu
merefleksikan dirimu, saking jeleknya!”
Kami tertawa terbahak-bahak
mendengar betapa noraknya banyolan kami sendiri. Hmm, Kolki, aku tak tahu bahwa
cinta itu penuh bahan pengawet. Rasa cintaku ternyata belum terhapus setelah
terpisah bertahun-tahun. Andai aku berani untuk mengungkapkannya.
Crash!
Rupanya bis air yang sedang
dikendarai Kolki menabrak kristal es kecil hasil membekunya sungai. Untung saja
kami tidak tenggelam seperti kisah Titanic. Kubayangkan aku menjadi Rose,
sedangkan Kolki menjadi Jack.
“Fiuh, untung bis ini tidak
terbelah dua. Kalau tidak, kita akan melanjutkan jejak Titanic! Nanti kita buat
film, judulnya Titanic 2. Tapi agak konyol juga tenggelam di sungai dengan
kedalaman hanya satu meter,” celoteh Kolki riang.
“Oh ya kulihat tadi kamu memfoto
pemandangan sekitar, kamu lagi travelling? Kok sendiri?”
Ah! Hampir saja aku melupakan tujuanku ke sini. Kulirik jam tangan yang melingkari tangan kananku. Pukul enam lebih lima belas menit. Pasti Sonya sudah menantiku di hotel.
“Aku seharusnya bersama
rombonganku, tapi tadi aku ketinggalan bis sehingga harus solo travelling.
Kolki, aku ingin sekali menyusuri kanal bersamamu tapi temanku pasti sudah
menungguku di hotel,” kataku dengan penuh penyesalan.
“Harusnya tadi aku tidak usah
bertanya ya? Kirimi saja temanmu itu pesan, bilang kau datang agak terlambat.”
Benar juga, aku merogoh sakuku.
Uh, ponselku kehabisan baterai. Pantas saja dari tadi tidak ada celotehan
Sonya.
“Baterai ponselku habis. Apa kau
bawa ponsel?”
“Tidak, sepertinya kita sudah
ditakdirkan terjebak di sini.”
Malam itu, kami menyusuri kanal
sambil bernostalgia. Aku menguap, rupanya sudah hampir tengah malam.
“Kinan, bagaimana jika kukatakan
aku menyukaimu sejak dulu, tapi tidak berani mengatakannya?”
Aku terbungkam. Sepi menyelimuti
kami selama beberapa menit.
“Mengapa baru kau katakan sekarang?”
“Aku terus mengulur waktu. Aku katakan
pada diriku sendiri, bila aku bertemu denganmu lagi sebelum tahun 2013
berakhir, aku akan mengatakannya padamu. Awalnya kukira itu mustahil, namun
rupanya Tuhan berkata lain. Jadi?”
“Aku akan bilang ya jika kita bisa
melihat kembang api sekarang.”
“Kau beruntung”
Dari ranselnya, Kolki mengeluarkan
sebentuk bungkusan yang kukenali sebagai kembang api. Lalu ia mulai membakarnya
dengan korek api yang sudah ia persiapkan. Kembang api menghiasi langit malam,
menelan kegelapan yang sedari tadi menyelimuti langit.
“Kau gila Kolki! Ngomong-ngomong,
kenapa kau bisa bawa kembang api?”
“Aku tahu kau suka sekali menonton
kembang api. Asal kau tahu, aku selalu membawanya setiap tahun baru, berharap
bisa menunjukkannya kepadamu. Tak kusangka ini menjadi tiket mendapatkan jawaban
‘ya’ darimu. Jadi?”
Aku mengangguk. Lembar pertama
dari buku setebal 365 halaman dalam hidupku tak pernah seindah ini.
(1): Kau ada di mana? Cepat!
(2): Aku sedang dalam perjalanan.
Memandangi salju yang gugur ke tanah. Sungguh indah.
(3): Aku serius! Separuh rombongan
sudah tiba. Kamu sebaiknya cepat kalau tidak mau ditinggal.
(4): Tunggu aku!
(5): Maaf, kapan bis berikutnya
yang menuju Giethoorn tiba?
(6): Kamu ada di mana, Kinan?
(7): Uh, Sonya, aku ketinggalan
bis. Aku baru tiba satu jam lagi. Sepertinya kalian harus meninggalkanku.
Pergilah.
(8): Apa, Kinan? Um, sepertinya
kamu harus travelling sendiri. Kita bertemu nanti di hotel.
0 komentar:
Posting Komentar
Feel free to drop your comment.. Thanks! :D