Selasa, 31 Desember 2013

Simpang Lima Jadi Saksi



"Wan, ke TBRS rame-rame yuk! Nonton wayang. Daripada bulukkan di rumah tahun baru gini, ya nggak?" seru lelaki berkumis tipis dengan suara bass itu sambil mencomot lumpia terakhir dari kulkas mini. Gilang namanya. Bukan Gelang loh ya, apa lagi Kalung.

Wawan menggeliat malas di atas kasur lapuknya. Inilah keseharian anak kos, jomblo pula. Wawan menguap lebar-lebar, tak sadar diri sudah satu harian ini mulutnya belum bertemu dengan yang namanya sikat gigi dan pasta gigi. Badannya pun sudah lama tidak bersilahturahmi dengan sabun, sampo, dan tentunya kawan setianya: air! Ck ck ck, gila memang mahkluk yang satu ini. Titisan kucing kali ya? Takut air! Betah saja Wawan ini tidak mandi berabad-abad! Alhasil, aroma semerbak memenuhi ruangan, membuat Gilang, rekan sekamarnya, seketika ingin muntah darah.

"Bujubuneg, mentang-mentang libur dan jomblo nggak gini juga kali! Gimana bisa dapet cewek kalo kayak gini caranya? Mau ikut gak jadinya?"

"Hoahm.. Ke mana? TBRS? Taman Budaya Raden Saleh? Jauh ah. Capek. Males," ujar Wawan ogah-ogahan. Mahasiswa abadi yang satu ini memang paling malas beranjak keluar dari kasur, apalagi dikala libur panjang seperti ini. Gak peduli ada kembang api kek, kembang sepatu kek, kebakaran kek, tetap saja dia bersikukuh menetap di kasurnya.

"Ish kau ini. Ini bukan wayang biasa loh, dalangnya Ki Sigit Ariyanto. Malam ini bakalan dibawain lakon 'Kongso Adu Jago'. Dua jam lagi mulai!"

"Naik apa kita ke sana? Ngesot?" Wawan berkata sambil mengorek lubang telinganya dengan ujung kelingking. Sekarang kau tahu kan kenapa ia tak kunjung dihinggapi seorang cewekpun?

"Makanya kau itu kerjaannya cuma tidur, makan, tidur, makan, kencing, tidur. Tadi siang si Tarjo, anak kos sebelah, SMS aku. Katanya dia udah nyewa satu angkot buat yang mau ke TBRS hari ini, patungan sepuluh ribu aja. Ayo ikutan! Abis nonton kita ke Simpang Lima, dijamin seru deh!" Gilang masih ngotot mengajak Wawan. Dia nggak mau sobatnya itu mematung sendirian di kamar kos, di malam tahun baru, lagi!

"Ya wes, ya wes. Aku ngikut aja. Kapan perginya?"

Wawan akhirnya beranjak dari kasur. Pergerakan besar! Wawan kini duduk di tepi kasur!

"Setengah jam lagi."

"Bagus deh, masih ada waktu buat tidur," sedetik setelah menyelesaikan kalimat itu, Wawan langsung tergeletak lagi di atas kasur.

"Wan, WAWAN! Mandi dulu lah ya terus siap-siap! Enak aja tidur lari, udah seharian ini tidur masih nggak cukup juga apa? Sana, mandiiiii!!!" Gilang menyeret Wawan yang masih setengah tidur menuju kamar mandi. Wawan, wawan.

***

"Tasya, malam ini kamu mau ke mana? Nonton kembang api bareng yuk di Pantai Marina!"

"Pantai Marina? Jauh ah! Cuma ngeliat kembang api aja jauh-jauh amat. Ke Simpang Lima aja ah! Toh kembang api di mana-mana kan sama aja, cuma bleduk bleduk, meledak dag dig dug duer! Lalu hilang, buyar. Seakan mati tertelan langit malam," Tasya menjawab malas-malasan. Malas aja panjang dan puitis begitu, gimana lagi nggak malas, apalagi lagi rajin ya? Pasti jadi ensiklopedia. Baginya, tahun baru tidak berbeda dengan libur-libur lainnya. Tidak ada yang spesial. Sama saja seperti hari Sabtu dan Minggu.

"Kan suasanyanya beda Tasya-ku sayang.. Bosen ah ke Simpang Lima terus. Sekali-kali cari suasana yang beda dong! Siapa tau nemu cowok nganggur, terkapar lemas di atas abu-abunya pasir Pantai Marina nun jauh di sana. Hi hi hi," bujuk Dirna tak kenal lelah. Bosan juga tiap akhir pekan mereka hanya ke Simpang Lima saja. Rekan sekamar kosnya itu memang susah diajak have fun, tapi Dirna tak pernah menyesal berteman dengan Tasya. Tasya-lah satu-satunya mahkluk yang bersedia merelakan berjam-jam dalam hidupnya untuk dicelotehi sepanjang malam oleh Dirna. Dengan Tasya, Dirna bisa bercerita apa saja, curhat apa saja. Ia tahu Tasya tak akan membocorkannya pada siapapun. Bukannya mengejek, merendahkan atau semacamnya, cuma Tasya ini memang cukup sulit bergaul. Ya anaknya memang agak tertutup, introvert gitu. Apa lagi karena ibunya... Ibunya itu.. Hmm, nggak enak ah ngomongnya. Nanti kalian juga tahu sendiri. Nah, karena dasar alasan itulah Dirna yakin si Tasya nggak bakalan ngebongkar rahasianya ke siapa-siapa. Ke siapa lagi gitu loh, wong cuma Dirna yang deket sama Tasya! Apa iya Tasya membongkar rahasia Dirna ke Dirna? Lalu Dirna menceritakan rahasia Dirna ke Tasya. Kemudian Tasya menceritakan... Ah, sudahlah.

"Ya udah kamu ke pantai aja bareng yang lain, aku ke Simpang Lima aja cukup."

"Yakin? Gak rame ah kalau nggak ada kamu! Gina, Manda, sama Andri juga pasti bakal kehilangan kamu. Ini kan malam tahun baru, rayain rame-rame dong," Dirna masih berusaha membujuk Tasya yang kepala batu. Tapi batu ya batu, sulit dilunakkan. Tasya pun tetap memilih untuk pergi ke Simpang Lima saja, walau harus sendirian.

***

Wawan sudah rapi, terbalut atasan batik dan celana bahan warna hitam. Tidak ketinggalan, gesper keberuntungan melingkari pinggangnya. Kalau sudah rapi begini, baru kelihatan deh ketampanan si Wawan ini. Kalah deh si Gilang. Sampai-sampai Gilang jadi menyesal juga mengajak Wawan, menjadi penghalangnya saja nanti jika dia bertemu cewek cantik calon pendamping hidupnya!

Bagaimana sih ketampanan si Wawan ini? Hmm, kira-kira begini gambarannya. Hidungnya bangir, pemberian dari bapaknya. Manik matanya hitam besar, membulat dibingkai apik oleh bulu mata lebat warisan dari ibunya. Wajahnya oval, kulitnya sawo setengah matang. Rambutnya yang hitam disisir klimis ke belakang, dengan bantuan minyak rambut tentunya. Kini Wawan dan Gilang sudah bersiap sedia untuk berangkat ke Taman Budaya Raden Saleh. Merekapun berjalan kaki pelan-pelan menuju kos-kosan Tarjo. Sepanjang jalan, banyak orang berkonvoi, meriah sekali. Bunyi sengau terompet terdengar membahana di sana sini, memecah keheningan yang biasanya menyelimuti malam. Lampu-lampu motor berkedap-kedip seru, berpadu riuh dengan klakson yang ditekan berirama. Suasana Kota Semarang tidak pernah seramai ini. Di malam tahun baru sajalah Semarang yang biasa terkenal kalem dan pendiam mengubah wajahnya, bagaikan gadis yang bersolek untuk menyambut kekasihnya.

Merekapun sampai di kos-kosan Tarjo. Di sana, sudah ada kira-kira sepuluh orang menunggu kedatangan mereka dengan terompet aneka bentuk dan warna. Hanya Wawan dan Gilang yang tampak polos tanpa aksesoris tahun baru setitikpun. Merekapun melenggang menuju Taman Budaya Raden Saleh sambil meniupkan terompet sepanjang jalan.

***

"Tasya serius nih?" Dirna bertanya untuk keseratus kalinya sebelum ia berangkat menuju Pantai Marina bersama kawan-kawan lainnya, meninggalkan Tasya sendiri.

"Iya, tenang aja! Kalian pergi sana, nanti telat loh! Aku ke Simpang Lima mah sebentar. Sepuluh menit juga sampai. Nanti aja aku mah perginya, setengah jam lagi juga bisa. Kalian baik-baik ya! Dadah! Selamat tahun baru!"

Tasya mendorong-dorong Dirna, lalu melambaikan tangan ke arah mereka sampai mereka benar-benar menghilang dari pandangan

"Hmm, sekarang mau ngapain ya? Masih lama ini tahun barunya. mau browsing-browsing dulu ah!"


Tasya melakukan satu-satunya aktivitas kegemarannya di kala liburan: browsing. Setelah browsing sana sini, Tasya mengetahui malam ini sedang diadakan pagelaran wayang kulit di Taman Budaya Raden Saleh, tak jauh dari kos-kosannya. Pertunjukkan sudah di mulai setengah jam yang lalu, tapi tak mengapa. Tujuan Tasya sebenarnya juga hanya ingin membunuh waktu sembari menunggu kedatangan sang tahun baru yang dinanti-nanti semua orang. Ya, lumayan lah, menyaksikan lakon 'Kongso Adu Jago' yang dibawakan oleh dalang Ki Sigit Ariyanto. Daripada nganggur sendirian di Simpang Lima nggak ada kerjaan. Akhirnya Tasya memutuskan, dia harus menonton lakon itu. Artinya, ia harus bergegas ke TBRS sekarang juga! 


***

Pertunjukkan sudah berlangsung selama kurang lebih satu jam. Cukup seru. Wawan melirik jam tangannya untuk keseribu kalinya hari ini. Pukul sepuluh malam. Masih dua jam lagi sebelum tahun baru yang dinanti-nantikan semua orang itu tiba. Di sebelah kanannya duduk Gilang, sedangkan bangku di sebelah kirinya kosong melompong. Lalu di sebelah bangku itu ada... tembok. Iya, bnagku itu bangku paling pojok kiri.

"Coba aku udah punya pacar, dia pasti sekarang bisa duduk di sebelah kiriku, lalu kami sama-sama nonton wayang kulit sambil berpegangan tangan. So sweet..."


Sambil membayangkan, Wawan senyum-senyum sendiri, membuat Gilang di sebelahnya kebingungan sekaligus ketakutan. Apa si Wawan mendadak gila lantaran merindukan belaian seorang wanita? Sudah lama kan dia tidak punya pacar? Atau jangan-jangan, Wawan sudah beralih minat, tak lagi tertarik pada wanita dan kini lebih menyukai pria? Gilang bergidik geli. Walau tak percaya imajinasinya sendiri, tak ayal Gilang menggeser duduknya sehingga lebih menjauhi Wawan. Agak takut juga ia tiba-tiba imajinasinya menjadi nyata.


***

Tasya akhirnya tiba juga di TBRS. Ruangan sudah cukup penuh, hanya satu dua bangku yang masih tampak kosong. Tasya mencari bangku terdekat. Ah, itu dia, bangku paling pojok kiri yang kelihatannya nyaman. Tasya pun duduk di sana, lalu melempar senyum alakadarnya kepada lelaki di sebelah kanannya.

"Hmm, lumayan ganteng juga cowok ini," batinnya sambil memperhatikan pemuda itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Pemuda itu berambut klimis disisir rapi ke belakang, dengan bantuan minyak rambut sepertinya. Hidungnya cukup bangir. Ditambah lagi, matanya yang hitam bermahkotakan bulu mata lentik yang tebal tiada terkira. Kalah deh bulu mata badainya Syahrini. Oke, nggak setebal itu juga sih. Tapi ya, cukup tebal lah untuk ukuran cowok.

Sesekali Tasya mencuri pandang ke arah cowok yang dianggapnya lumayan kece ini. Semakin dilihat-lihat, kok rasanya makin familiar ya? Makin kenal. Kayaknya pernah bertemu sebelumnya. Tapi ia lupa di mana dan kapan. Tasya mengendikkan bahu tak peduli, mungkin imajinasinya saja. KEmbali ia fokuskan mata, hati, dan pikirannya pada lakon yang sedang ditampilkan. Sayang kan, udah capak-capak ke sini tapi nggak tahu ceritanya kayak apa?

***

Seorang gadis baru datang ketika pertunjukkan sudah separuh jalan, lalu mengambil tempat duduk di samping Wawan. Wawan bagai kejatuhan durian runtuh, apalagi gadis itu melemparkan sebentuk senyum manis padanya. Oh Tuhan, inikah yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama?

Gadis itu manis sekali. Rambutnya yang hitam sebahu digerai begitu saja, tanpa aksesoris apapun, polos. Wajahnya juga polos tanpa dipulaskan make up berlebihan. Hanya bedak bayi tipis-tipis saja yang menutupi wajah ovalnya. Wawan sekali-sekali mencuri pandang ke arah gadis itu. Semakin dilihat-lihat, kok rasanya makin familiar ya? Makin kenal. Kayaknya pernah bertemu sebelumnya. Tapi ia lupa di mana dan kapan. Wawan mengendikkan bahu tak peduli, mungkin imajinasinya saja.

Tiba-tiba ada yang mencolek bahunya. Gilang rupanya.

"Gile, mimpi apa lo semalem, bisa dapet durian runtuh kayak gitu, ada malaikat jatoh di sebelah lo. Tukeran tempat yuk! Enak banget dari tadi lo nyuri-nyuri pandang ke arah dia terus kan? Eh, tadi kalau gue nggak salah liat, kalau gue nggak salah liat loh ya, dia juga nyuri-nyuri pandang gitu ke arah lo! Beruntung banget lo, men! Gak rugi kan gue ajak ke sini? Jadi nyesel gue ngajak lo. Coba lo nggak ikut, dia pasti pulang-pulang udah jadian sama gue!" cerocos Gilang panjang kali lebar kali tinggi. Volume deh jadinya, he he he. Garing? Biarin deh. 

Tapi tentu saja, cerocosan Gilang ini disampaikan dalam bisik, agar tidak mengganggu penonton lain yang emang niat pingin nonton lakon ini dari awal dan alasany yang lebih tepatnya lagi yaitu.. agar tidak kedengeran sama cewek yang lagi diomongin itu.

"Hus, sembarangan! Tapi emang bener dia ngelirik gue? Ternyata gue segitu gantengnya ya," ujar Wawan kepedean. Gila, keren juga, kalau semisalnya dia berhasil mendapatkan pacar di malam tahun ini. Berhasil melepas status jomblo abadi yang selama ini selalu lekat dengannya, tepat sebelum tahun dengan ekor angka sial ini berakhir.

***

Pertunjukkan wayang kulit itupun usai sudah. Waktu sudah menunjukkan tepat pukul sebelas malam, menandakan tinggal satu jam lagi saja mereka akan menikmati apa yang dinamakan dengan tahun 2013. Hari terakhir di tahun 2013 ini. Wawan dan kawan-kawan sudah bersiap berangkat saat Wawan melihat gadis manis yang duduk di sebelahnya tadi tampak kebingungan. Sepertinya ia sedang menunggu angkot yang tidak kunjung datang. Maklum, malam tahun baru. Banyak angkot-angkot yang disewakan, termasuk angkot yang hari ini sedang disewa oleh Tarjo.

Ragu-ragu, dengan jurus malu tapi mau, Wawan mendekati gadis itu.

"Hei, kamu tadi yang duduk disebelahku ya?"

"Iya. Ada apa ya?"

"Nunggu angkot ya? Sampai tahun depan gak bakal dapat loh, memang kamu mau ke mana?"

"Ke Simpang Lima nih, he he he. Biasa, nonton kembang sepatu, eh kembang api."

"Ih kamu ngelawak aja. Kebetulan banget kita juga lagi mau ke Simpang Lima. Kayak sinetron aja ya bisa kebetulan kayak gini? Bareng aja yok! Gak bakal kita apa-apain deh. Paling digigit... nyamuk he he he."

"Ngg, ya udah deh."

Tasya yang sejak pandangan pertama memang sudah kepincut sama Wawan tidak mampu menolak ajakan Wawan. Sudah dilupakannya jauh-jauh nasihat orang tuanya sejak ia kecil, jangan mau diajak pergi sama orang asing yang baru dikenal, apalagi laki-laki. Ya, cinta memang membutakan segalanya, Tasya tahu itu. Tapi ia tak tahu kalau cinta juga membuatnya tuli seperti ini.

Mereka menaiki angkot sewaan Tarjo. Walau harus berdesakan, tapi tak apa lah. Tarjo yang melihat adanya pendatang baru, sang mahkluk manis dalam angkot, langsung tebar pesona. Tasya hanya membalasnya dengan senyuman.

Tiba-tiba Handi yang satu kampus dan satu jurusan dengan Gilang dan Wawan menyadari ada sesuatu yang familiar dari wajah gadis itu. Benar, tak salah lagi!

"Kamu Tasya kan? Anaknya Bu Girni, dosen yang super killer itu?" ujar Handi yang emang suka bergosip, jaringannya luas, sinyalnya kuat, dan kenal hampir semua orang di kampus mereka.

"Iya, kok kamu tahu?"

Wawan dan Gilang melongo dibuatnya. Mulut mereka membentuk bulatan kecil, huruf o. Sesuai dengan namanya, melongo. Di jidat mereka seakan tercetak besar-besar dan jelas-jelas tulisan ini dengan huruf kapital, font size-nya 72 dan di-bold: 'Masa sih? Sumpe lo?'.

"Wawan, Gilang, masa kalian lupa? Dia kan juga satu kelas sama kita! Lha wong jurusannya juga sama, Arsitektur! Kalian sih cuma jadi kupu-kupu, kuliah pulang kuliah pulang!"

Wawan tertegun. Ya ampun pantas wajahnya familiar, mirip dengan ibunya ternyata, si Bu Girni! Wawan bergidik membayangkan Bu Girni akan menjadi mertuanya suatu hari nanti. Eh, mertua? Belum apa-apa Wawan sudah berpikiran sejauh ini. Ada-ada saja kau ini. Wawan, wawan.

Mereka sampai di Simpang Lima. Wawan mengajak Tasya ke tempat yang agak sepi, dekat toilet. Si Tasya juga mau-mau saja.

Lalu dengan tidak tahu diri dan tidak tahu malu, Wawan berlutut di depan Tasya, dan di depan banyak orang yang lagi keluar masuk WC.

"Tasya, sejak pertama aku melihatmu, jantungku langsung berdegup kencang. Mungkin ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama. Dulu aku tidak percaya itu, tapi kini aku percaya setelah bertemu denganmu bidadariku. Tasya, maukah kau menjadi permaisuri hatiku, di awal tahun yang baru ini?"

Tasya terbungkam, tak mampu berkata-kata. Mereka jadi tontonan gratis. Ribuan pasang mata tertuju pada metreka kini. Oke, lebay memang. Ya mungkin hanya belasan pasang mata, tapi jumlah segitu sudah cukup membakar pipi putih Tasya menjadi merah merona. Ia malu sekali. Sejenak sunyi menyelimuti mereka, sampai ratusan suara, mulai dari lelaki dan perempuan, batita, balita, batuta, remaja, anak-anak dan dewasa, hingga para lansia menyatukan suara mereka. Hanya Tasya dan Wawan saja yang masih bergeming, seolah larut dalam dunianya sendiri yang hanya dihuni mereka berdua. Saling mnatap, tak peduli riuhnya suasana.

"Dua puluh!
Sembilan belas!
Delapan belas!
Tujuh belas!
Enam belas!
Lima belas!
Empat belas!
Tiga belas!
Dua belas!
Sebelas!
Sepuluh!
Sembilan!
Delapan!
Tujuh!
Enam!
Lima!
Empat!
Tiga!
Dua!
Satu!
Selamat tahun baru dua ribu empat belas semuanya!"

Dag Dig Dug Duar!

Kembang api pertama merekah di atas kelamnya kanvas langit Semarang. Tak berbeda jauh dengan suasana isi hati Tasya, ikut dag dig dug duar juga, senada dengan kembang api yang terus meletup-letup mewarnai cakrawala Simpang Lima. Gadis itu menarik kedua ujung bibirnya sehingga membentuk lengkungan sempurna, setengah lingkaran terbalik tergambar jelas di bibir merah ranumnya. Tasya mengangkat ujung bibirnya, hendak berkata-kata.

"Mungkin aku gila, tapi aku juga merasakan hal yang sama ketika pertama kali melihatmu duduk di TBRS kala itu. Ya, aku juga jatuh cinta padamu dan aku menerimamu, Wawan."

Mereka berpelukan diiringi suara kembang api dan terompet yang bersahutan terus menerus tanpa kenal henti. Ya terkadang, cinta tak perlu banyak basa basi. Cinta pada pandangan pertama itu nyata. Cepat ungkapkan sebelum tahun ini berakhir!

Tam..


Hei, hei! Lihat dulu satu cerpen saya, diikutkan dalam #NulisKilat juga >http://depimomo.blogspot.com/2013/12/meneropong-sorong.html<

Tamat

Meneropong Sorong




“Nak, bangun nak! Sebentar lagi sampai loh!”

Huahm. Duh, siapa sih yang ngebangunin? Lagi enak-enak tidur juga. Namun, kupaksakan juga tuk membuka mata. Mentari sudah berseri-seri. Kutaksir saat itu sudah sekitar jam delapan pagi. Tapi kok aku masih ngantuk banget ya? Aneh.

”Sekarang jam berapa? Jam delapan ya?”

Suara berat ayah yang tadi membangunkanku kembali terdengar.

”Jam enam waktu Yogya, jam delapan waktu Sorong.”

Oh, gitu. Pantas aku masih ngantuk. Ayah nih suka ngelucu aja. Aku kan nanya jam di sini, di Yogya, bukan di So... Eh?!

”HAH? SORONG??! Kita lagi di Sorong??!”

Teriakanku kontan membuat seisi bus menoleh. Tatapan galak, bingung, dan iba semuanya terpusat ke arahku. Terang saja, anak gadis teriak-teriak di bus pagi-pagi gini?! Gadis gak waras itu mah.

”Ssst! Jangan berisik! Kamu lupa kita lagi pindahan ke Sorong?”

Pindahan? Sorong? Otakku yang masih dingin ku paksa untuk bekerja lebih keras. Oh! Aku ingat! Aku dan ayah sedang dalam perjalanan menuju Sorong. Ayah mendapat tawaran kerja dari sebuah perusahaan minyak di kota minyak ini. Kehidupan di Yogya yang kian tak menentu membuat ayah dan aku terpaksa berangkat ke Sorong untuk mengadu nasib. Meninggalkan nisan ibu di Yogya.

”Oh iya, ya. Lali aku. Hehehe,” jawabku sambil cengegesan. Tak lama kemudian, bis yang kutumpangi berhenti di sebuah mal. Gedung baru berlantai tiga ini sangat berbeda dari bayanganku akan mal di Sorong. Pikirku, mal di daerah Papua Barat yang notabene jauh dari ibukota Indonesia pastilah kumuh, kotor, dan tak terawat. Namun, semua bayangan itu langsung lenyap ketika aku melihat Ramayana Mal Sorong ini.

”Ajeng, masuk dulu yuk. Temen ayah baru bisa nganter kita ke kontrakan jam sepuluh nanti,” tegur ayah.

Kulirik jam di tanganku. Jam tujuh...WIB. Sambil berjalan mengikuti ayah memasuki mal yang baru saja buka, ku putar sekrup jam tanganku hingga jarum pendeknya menyentuh angka sembilan.

BRUK!

HEI! Kalo jalan lihat-lihat dong! Mentang-mentang korang putih dan kitorang hitam, lantas kitorang tak dianggap,” amuk seorang lelaki yang tak sengaja kutabrak. Loh, kok jadi bawa-bawa suku gini sih? Ya, warna kulit remaja ini memang agak gelap, khas suku Papua. Rambutnya yang keriting pendek dan matanya yang hitam pekat meyakinkanku bahwa orang ini benar-benar penduduk asli sini. Dari tinggi dan perawakannya, nampaknya kami seumuran.

”Ma... Maaf. Maaf banget. Aku gak sengaja. Kamu gak terluka kan?”

”Sudah, sudah. Aku ini laki, tau! Lain kali, lihat-lihat kalau jalan!”

Ia pun segera beranjak pergi. Eh, aku lupa menanyakan namanya! Tapi, kayaknya dia lagi buru-buru. Mungkin di lain kesempatan kami akan berjumpa lagi.

”Ajeng! Kamu ngapain bengong aja di sana? Ayah tungguin juga. Ayo lekas kemari!” panggil ayah dari toko peralatan elektronik tak jauh di depanku. Aku pun segera menyusul ayah.

~~

Aku menaiki angkot yang disebut penduduk setempat dengan taksi. Sudah seminggu ini aku tidak diijinkan keluar rumah oleh ayah. Hanya ayah yang boleh keluar rumah untuk membeli makanan dan bergaul dengan tetangga. Kata ayah, anak gadis sebaiknya di rumah saja. Nanti kalau sudah masuk sekolah dan kenal banyak orang baru boleh keluar rumah. Huh, aku kan bosan! Karena itu hari ini aku mau jalan-jalan ke Ramayana Mal Sorong, satu-satunya tempat yang kuketahui. Sebelum masuk ke mal, ku putuskan untuk makan di warung yang terletak tak jauh dari mal. Wah, menu makanannya familiar, khas jawa. Sempat kukira aku akan disuguhi cacing cah ilalang atau bakwan semut-belalang. Iiihhh, emoh! Kuputuskan untuk memesan sepiring nasi dengan lauk capcai. Tadinya aku mau pesan nasi dengan fuyunghai dan ayam goreng. Tapi, uang yang kubawa pas-pasan, cuma dua puluh ribu. Kupikir, nasi capcai pasti lebih murah. Selesai makan, aku memanggil mbak-mbak yang menjaga warung itu.

”Mbak, semuanya jadi berapa ya?”

”Semuanya empat puluh lima ribu, kakak,” sahutnya dengan santai.

APA?! EMPAT PULUH LIMA RIBU?? Tak terasa, wajahku langsung pucat pasi. Kubuka-tutup dompetku yang hanya berisi selembar kertas hijau bergambar wajah Otto Iskandardinata. Apa yang harus kulakukan?! Telpon ayah tak mungkin, ia pasti marah mengetahuiku pergi tanpa ijin. Mengadaikan barang? Aku tak bawa apa-apa, masa aku menggadaikan diri?? Atau bekerja disini tanpa di bayar?

Puk. Kurasakan sebentuk tangan menepuk pundak kananku. Dibelakangku, tampak seorang lelaki muda berkacamata pemilik tangan itu. Tampaknya, dia ini seorang kutu buku yang cerdas.

”Uangnya kurang ya?” tanyanya ramah. Tanpa menunggu jawabku, ia menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan kepada mbak penjaga warung yang masih menatapku tanpa suara. Aku masih mematung, tak menyangka bisa mendapat mukjizat di siang bolong seperti ini.

”Hei! Kamu! Kok bengong aja sih? HEI! SADAR!” ujarnya sambil menguncang-guncang tubuhku.

”Eh, iya, iya. Aku masih hidup kok. Makasih ya, makasih banyak! Aku pasti ganti uang kamu besok! Besok kita ketemu lagi ya di sini jam sepuluh!” cerocosku buru-buru, takut ia mengiraku gadis tak tahu diri yang sukanya gratisan.

”Tenang, tenang! Gak usah buru-buru balikinnya, santai aja. Ngomong-ngomong, nama kamu siapa? Aku Gunardi, Gunardi Wiyanto” tuturnya sambil menyodorkan tangan kanannya dengan sopan. Kusambut uluran tangannya. Tangannya halus dan hangat, sehalus perilakunya dan sehangat senyumnya.

”Aku Ajeng Setiadinata, panggil Ajeng saja.”

”Ajeng. Nama yang bagus! Eh, kita ngobrol di taman aja yuk! Deket kok. Gak enak juga kan, berdiri di sini lama-lama? Mau gak?” ajaknya dengan senyum jenaka. Entah terhipnotis apa, aku mengangguk pelan.

~~

Pukul lima kurang sepuluh menit. Tepat waktu. Aku sampai di rumah sebelum ayah pulang. Aku pun melangkahkan kaki ke kamar, hendak mengambil baju untuk mandi. Sejenak aku teringat lagi percakapanku dengan Gunardi.

”Kamu pasti orang baru ya? Kelihatan banget tadi mukamu pucat pasi begitu mendengar harga makanan di warung,” tanya Gunardi sambil terkikik geli.

”Iya. Aku kaget banget, moso nasi capcai empat puluh lima ribu?! Waktu di Yogya, di warung depan sekolah lamaku tepatnya, nasi capcai cuma sepuluh ribu, kok!” jawabku dengan wajah cemberut.

”Ngomong-ngomong soal sekolah, kamu sekarang kelas berapa? Aku kelas X tahun ini. Sepertinya usia kita tak berbeda jauh.”

”Aku juga kelas X! Kita seangkatan rupanya!”

”Oh ya? Kebetulan sekali! Kamu sekolah di mana?”

”Belum tahu, aku kan baru pindah. Ayahku yang memilihkanku sekolah. Katanya sih minggu depan sudah masuk.”

”Semoga kita satu sekolah ya! Kalau bisa sih, sekelas. Aku ingin sekali sekelas denganmu, Ajeng!”

Ya, aku juga. Siapa sih yang tidak mau sekelas dengan lelaki seramah dan sejenaka kau, Gunardi? Sambil tersenyum simpul, aku pun bergegas mandi sore sebelum ayah pulang.

~~

Akhirnya masuk sekolah juga. Hari ini ayah cuti untuk mengantarkanku ke sekolah baruku. Hanya dengan lima belas menit berjalan kaki, sampailah kami di gerbang sekolah baruku.

”Ayah, aku masuk sendiri aja. Malu ah sama teman-teman yang lain, gak ada yang diantar! Aku kan sudah besar!”

Ayah yang mulanya bersikeras ingin mengantarku masuk akhirnya luluh juga. Setelah beribu-ribu wejangan, ia pun membiarkanku masuk sendiri. Aku pun menelusuri seisi sekolah untuk mencari kelas X4, kelas baruku.

Puk. Sebentuk tangan menepuk pundak kananku. Pasti Gunardi! Dengan semangat aku berbalik, mengharapkan wajah hitam manis yang dibingkai kacamata kotak itu menantiku.

Korang cewek yang waktu itu tabrak kitorang, bukan? Sedang apa di sini?”

Uh, bukan Gunardi. Dia kan lelaki yang waktu itu tak sengaja ku tabrak di mal! Dia juga sekolah di sini?!

”Uh, iya. Aku sekolah di sini. Oh ya, kita belum kenalan kan? Aku Ajeng, Ajeng Setiadinata. Aku baru pindah dari Yogya,” kuulurkan tangan kananku dengan sopan, berharap kesan pertama yang buruk itu dapat terhapus.

”Emm, saya Alex,” jawabnya tanpa membalas uluran tanganku. Kutarik lagi tanganku yang menyalami angin kosong. Dasar tidak sopan!

”Aku kelas X4, kamu kelas berapa? Bisa tolong temenin aku cari kelas gak?

”Saya juga kelas X4. Kelasnya ada di lantai dua. Ayo ikut!” katanya sambil menarik tangan kananku. Tangannya kasar, namun bisa kurasakan ketulusannya menolongku.

Sesampainya di lantai dua, kulihat sesosok orang yang kukenal. Ya, itu dia, itu Gunardi! Tanpa basa-basi, langsung saja kuhampiri dia. Meninggalkan Alex yang menatapku tajam dari kejauhan.

~~
Ternyata, aku juga sekelas dengan Gunardi. Senang sekali rasanya bisa sekelas dengannya. Sayang, bukan dia yang duduk di sebelahku. Yang duduk di sebelahku selama satu semester ke depan adalah Alex, lelaki dingin yang cuek. Benar-benar menyebalkan.

”Anak-anak, untuk tugas kali ini kalian harus membuat laporan penelitian sosial. Boleh tentang apa saja. Untuk pengerjaannya, satu kelompok berdua-dua...”

Dengan semangat kutolehkan kepala ke arah Gunardi yang ternyata juga melakukan hal yang sama. Kami sampai terkikik geli sendiri begitu mengetahuinya.

”Berdua-dua dengan teman sebangku kalian masing-masing!” lanjut Pak Dodi yang langsung menghentikan tawaku. Sekelompok dengan Alex? Bukan Gunardi? Aku langsung lesu begitu mendengarnya. Satu jam pelajaran yang diberikan Pak Dodi untuk membahas tema penelitian malah kugunakan untuk mencorat-coret halaman terakhir buku tulisku. Tiba-tiba, sebuah tangan berkulit gelap mencengkram kuat tangan kananku.

HEI! APA-APAAN SIH!” bentaku marah ke arah Alex, cowok yang sudah merenggut segala kebahagiaanku ini. Untung saja kelas sedang ribut-ributnya. Tak ada seorang pun yang mempedulikan teriakan brutalku barusan.

”Jangan korang corat-coret terus! Aku tak mau dapat nilai jelek gara-gara kau! Ayo bahas tema penelitian!”

Dengan terpaksa, aku pun mengiyakan usulan Alex. Aku juga tak mau dapat nilai jelek hanya karena tak sekelompok dengan Gunardi, oke? Aku masih waras, kok! Kami pun membahas tema apa yang kira-kira menarik untuk dijadikan laporan penelitian.

Gimana kalau tentang pengaruh Blackberry terhadap prestasi belajar?“ usulku yang langsung disambut gelengan kepala Alex.

”Kau kira berapa banyak di sini yang pakai Blackberry? Di sini tak seperti di kota kau. Kau dari Yogya, bukan? Kota besar itu?”

”Ah, tak sebesar itu juga. Mungkin Yogya besar, tapi tak sepadat Jakarta”

”Saya lebih memilih kota besar yang ramah seperti Yogya dibanding Jakarta.”

”Oh ya? Aku juga. Namun kota Sorong juga tak kalah ramah dan meyenangkan dibanding Yogya,” ucapku jujur. Hmm, ternyata Alex tak sedingin yang kubayangkan. Kota Sorong benar-benar memberikanku banyak kejutan.

”Lalu, menurutmu tema apa yang cocok untuk laporan penelitian kita?” sambungku.

”Kalau tentang perbandingan pengunjung lokal dan asing yang datang ke Pantai Tembok Berlin gimana?”

“Hah? Tembok Berlin? Yang ada di Jerman itu? Jadi kita mesti ke Jerman buat meneliti gitu?. Lagipula, setahuku tembok itu sudah dirubuhkan sejak lama. Kau ini ada-ada saja Alex. Mau ngelucu ya?” tuturku panjang lebar.

“Kau tuh yang kuper! Masa sudah tinggal di sini sekian lama masih nggak tahu kalau di dekat pantai ada tembok yang namanya Tembok Berlin? Tembok segede gitu kau acuhkan saja. Pantaslah yang kau kenal hanya Gunardi, Gunardi, dan Gunardi..”

Perasaanku saja atau memang ada nada cemburu saat Alex menyebut nama Gunardi? Ah, pasti hanya perasaanku saja. Dasar kau ini Ajeng! Ke-GR-an banget sih jadi orang? Sadar diri dong!

“Oh ya? Aku baru tahu di Sorong juga ada Tembok Berlin. Di mana letaknya? Rasanya aku tak pernah melihatnya.”

”Kau selalu melewatinya sewaktu pulang sekolah!”

”Bagaimana kau tahu aku melewatinya sewaktu pulang sekolah? Apakah kamu...”

”Tak!! Saya tak ikuti korang! Kebetulan saja arah rumah kita sama, hanya saja di perempatan kau belok kanan sedangkan saya belok kiri! Jangan pikir macam-macam!” jawab Alex gelagapan. Mengapa ia jadi segugup ini?

”Tapi, mengapa aku tak pernah melihatmu sewaktu berjalan pulang?”

”Bukankah yang ada di pikiran kau hanya Gunardi? Tak pernah bukan kau perhatikan yang ada di sekelilingmu? Ah, sudahlah. Tak perlu kitorang bahas. Waktu yang diberi untuk membahas tugas, hendaknya dipakai untuk membahas tugas.”

”Baiklah. Aku setuju dengan usulmu. Tema itu sepertinya menarik. Aku juga jadi bisa sekalian jalan-jalan di sana. Lantas, kapan kita akan menelitinya?”

”Lebih baik akhir pekan, banyak pengunjung yang datang. Bagaimana kalau Sabtu ini? Kutunggu kau di sekolah jam tiga sore.”

”Baiklah.”

Itulah yang terjadi. Dua hari kemudian, kami berjalan menyusuri tepi Pantai Tembok Berlin yang merupakan tepi ’Kepala Burung Papua’ ini. Apa yang dimaksud Alex sebagai Tembok Berlin ternyata adalah tembok tebal setinggi pinggang orang dewasa yang memagari ruas pantai tak kurang dari tiga kilometer. Pantai inilah dan disebut dengan Pantai Tembok Berlin atau Pantai SepTemBer yang merupakan singkatan dari ’Pantai Sepanjang Tembok Berlin’. Orang-orang Papua memang sangat kreatif!
Alex mengajakku untuk duduk di atas tembok, meniru warga setempat yang sedang melepas penat.

”Ayo, naik kemari! Atau korang takut? Kalah kau dengan balita di sana!” ujar Alex sambil menunjuk balita yang sedang mencoba naik ke atas tembok, dibantu ibunya tentu.

”Siapa takut? Lihat saja ini!” Dengan lihai aku melompat ke atas tembok. Hah! Tak sia-sia dulu aku sering diomelin gara-gara memanjat tembok pembatas dengan rumah tetangga. Dari sini, nampak birunya langit yang berpadu dengan jernihnya air laut. Sesekali terdengar tawa renyah anak-anak yang sibuk mencari ikan atau kerang yang di antara karang. Kapal berukuran besar hingga sampan kecil yang lalu-lalang semakin memperkaya pemandangan.

”Hei! Udah dulu bengongnya. Sekarang ayo kita mulai penelitiannya! Kau hitung wisatawan asing, saya hitung pengunjung lokal. Nanti ketemu lagi di sini jam setengah lima ya!” kata Alex sambil berlari ke menjauhiku. Aku pun ikut berlari, namun ke arah yang berlawanan dengannya.

~~

Tak terasa sudah satu jam aku mengelilingi pantai ini. Pukul 16.20 WIT. Saatnya aku kembali ke Tembok Berlin untuk menggabungkan hasil pengamatanku dengan hasil milik Alex. Dari kejauhan, kulihat Alex sedang duduk di atas Tembok Berlin. Kupercepat langkahku yang sedari tadi sengaja kuperlambat.

”Hei, Alex! Sudah lama?” sapaku bersemangat. Semilir angin sore rupanya telah memompa semangatku.

”Baru sampai. Gimana pengamatannya? Lancar?”

”Lancar dong! Ternyata, banyak juga wisatawan asing yang datang kemari! Banyak dari mereka yang memuji keindahan alami pantai ini. Namun, mereka juga berharap agar kebersihan pantai lebih dijaga. Masih banyak sampah berserakan, kata mereka. Sayang, pantai seindah ini tidak mendapat perhatian khusus dari pemerintah.,” jawabku jujur.

“Ya, memang begitu keadaannya sedari dulu. Yang diperhatikan hanya pulau Jawa dan Bali. Padahal kan Indonesia lebih kaya dari itu. Sudahlah, tak perlu kitorang bahas sekarang. Nanti saja kalau kitorang sudah jadi orang besar yang punya kuasa. Lebih baik sekarang kitorang bahas hasil penelitian ini. Bahas sambil makan di warung sana, bagaimana?” ajaknya yang langsung ku sambut dengan anggukan mantap.

~~

Delapan puluh lima. Nilai tertinggi di kelas. Itulah nilai yang diberikan Pak Dodi kepadaku dan Alex. Tak henti-hentinya aku berseri sepanjang hari bila mengingat nilai kerja kelompok pertama kami itu. Kelompok yang awalnya ku benci setegah mati. Bel istirahat berdenting nyaring. Seperti biasa, aku mengeluarkan bekal yang telah disiapkan oleh ayah tadi pagi. Nasi dengan lauk ikan goreng yang menggugah selera.

“Hei Ajeng! Makan nasi dan ikan goreng juga ya? Sama dong! Sepertinya kita memang berjodoh ya? Seperti yang di lagunya Anang-Arshanty itu loh.. Hahaha..,” ujar sebuah suara seraya menepuk pundak kiriku. Siapa sih yang mengaku-aku berjodoh denganku? Kutolehkan kepala ke arah sumber suara, yang kuduga adalah anak lelaki jahil yang duduk di deretan bangku belakang. Betapa terkejutnya aku ketika mengetahui si empunya suara tak lain dan tak bukan adalah Gunardi!

”Eh, Gunardi! Tumben makan di kelas. Bukannya kamu biasanya makan di kantin?” kucoba untuk menyapanya sesopan mungkin walau sudut hatiku mencurigainya. Tak biasanya Gunardi seperti ini, ia seperti orang baru yang tak kukenal. Atau memang aku tak pernah benar-benar mengenalnya?

”Masa gak boleh sih aku makan bareng Ajeng yang cantik mempesona ini? Ijinkan aku duduk mendampingimu makan ya, permaisuriku,” ujarnya seraya duduk di kursi Alex yang sedang kosong. Gunardi sedang kerasukan setan apa sih? Kok jadi aneh gini? Refleks aku menggeser kursiku menjauhinya. Seketika itu juga nasi dengan lauk ikan gorengku tampak menjijikan.

”Maaf, aku ke toilet dulu ya!”

Dengan kilat aku berlari menuju toilet. Ke toilet sebenarnya hanyalah alibi untuk menghindariku duduk lebih lama di samping Gunardi. Aku bisa memuntahkan seisi perutku jika mendengar gombalannya sekali lagi. Untung toilet sedang kosong, langsung saja aku mengunci diri dalam bilik pertama yang kulihat. Selang beberapa menit kemudian, kudengar langkah kaki segerombolan anak yang sedang berjalan mendekat. Ah, paling gerombolan anak perempuan yang ingin merapikan penampilannya. Tapi, kok suaranya berat ya? Kuintip keadaan di luar lewat celah di bawah pintu. Terlihat berpasang-pasang sepatu anak lelaki. Kok mereka masuk toilet perempuan? Atau jangan-jangan, aku yang salah masuk toilet! Kuperhatikan keadaan di sekelilingku. Tampak bilik yang kotor dan penuh coretan yang seingatku tak ada di bilik toilet perempuan. Benar saja, aku salah masuk toilet!!

Gimana tadi, berhasil gak PDKT-nya?”

Uh, ternyata seperti ini perbincangan anak lelaki ketika berada di toilet. Tak berbeda jauh dengan pembicaraan anak perempuan rupanya. Hanya seputar PDKT, pacaran, dan putus.

”Berhasil apanya?! Saranmu malah membuat aku tambah jauh darinya! Buktinya dia sekarang dia kabur ke toilet dan gak balik-balik,” balas sebuah suara yang terdengar familiar di telingaku. Suara siapa ya? Hmm, coba ku ingat-ingat. Suara Alex sepertinya bukan, suara Alex lebih nyaring dan lebih berlogat. Jangan-jangan ini suara Gunardi! Jadi dia sedang melancarkan aksi PDKT terhadapku? Aduh, jawaban apa yang akan kuberi jika nanti ia menyatakan perasaannya kepadaku ya? Anganku menerawang jauh. Andai saja ia tak meggodaku seperti tadi dan bersikap biasa, pasti akan lebih mudah bagiku untuk memberikan jawaban. Namun, bagaimana nasib Alex? Hei! Mengapa aku memikirkan Alex? Aku kan tidak ada hubungan apa-apa dengannya!

”Kau saja kali yang kurang berkharisma, tak sepertiku,” sahut suara lain disusul cemoohan dari anak lelaki lainnya.

”Lihat saja nanti, dalam satu minggu Ajeng pasti akan jadi milikku!” ujar Gunardi dengan penuh percaya diri. Ah, Gunardi. Mengapa kau bisa seyakin itu? Aku saja belum yakin akan perasaanku kepadamu saat ini.

”Bah, banyak omong kau! Ingat ya, kalau dalam seminggu kau tak berhasil memacari Ajeng, sepatu bola itu menjadi milikku!”

DEG! Jantungku rasanya menolak untuk berdetak lagi. Ribuan paku imajiner menancap di hatiku. Teganya Gunardi menjadikanku bahan taruhan! Arrrggghhh!! Dadaku mulai terasa sesak. Aku merasakan mataku memanas. Runtuh sudah pertahananku, air mata yang sudah tak terbendung ini akhirnya meleleh menuruni pipiku.  Walau begitu, aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak menimbulkan suara.

Akhirnya gerombolan itu keluar juga. Setelah memastikan keadaan di luar benar-benar kosong, dengan perlahan aku melangkah keluar dari bilik toilet. Kutatap bayanganku di cermin. Kusut. Berbekal tisu yang ada di sakuku, kucoba untuk mengenyahkan guratan kesedihan dari wajahku. Gagal, tentu saja. Mata sembapku tak bisa berbohong. Kuputuskan untuk menghabiskan sisa jam pelajaran di UKS.

~~

Tak terasa sudah satu bulan peristiwa itu berlalu. Kini kusambut bulan Desember dengan sedikit lebih ceria. Gunardi sudah kubuang jauh-jauh dari pikiranku. Enak saja menjadikanku bahan taruhan! Gunardi sudah mengakuinya dan meminta maaf, yang kumaafkan walau masih ada sepercik rasa kesal.

Hari ini tanggal 31 Desmber. Kau tahu kan, malam tahun baru? Aku mengajak ayah mengunjungi Pantai September.

”Jeng, dari mana kau tahu ada Pantai? Memangnya kamu sempat ke Pantai?” Ayah bertanya dengan heran.

”Iya dong, aku kan gaul hehe. Waktu itu ada tugas buat penelitian, aku meneliti pantai ini deh. Bagus ya?”

”Iya. Eh, kita duduk di sana yuk! Di sebelah keluarga teman bapak, keluarga Pak Hasan!”

Aku dan Ayah menghampiri keluarga Pak Hasan yang sedang asyik berpiknik malam-malam di bawah pohon kelapa dekat Tembok Berlin. Kamipun ikut duduk di atas tikar kotak-kotak berwarna merah campur hitam itu. Pak Hasan inilah yang mengantar kami ke kontrakan saat aku dan ayah pertama kali menginjakkan kaki di kota ini. Bersama istri dan anak terkecilnya yang baru berusia dua tahun, kami berbincang-bincang ringan. Baru kuketahui Pak Hasan yang asli orang Papua memiliki seorang anak lelaki yang seumuran denganku.

”Loh, masa korang tak pernah ketemu? Kalian kan satu sekolah! Satu kelas lagi!” ujar Pak Hasan keheranan saat kutanyakan siapa anaknya.

”Bagaimana bapak tahu kami satu sekolah dan satu kelas?”

”Anakku yang bilang! Katanya ada temannya pindahan dari Yogya, sekelas dengannya. Itu pasti kau kan?”

Aku jadi penasaran, siapa sih anak Pak Hasan ini? Yang sekelas denganku, asli Papua, dan seorang laki-laki. Jangan-jangan...

”Nah, itu dia! Nak, sini korang!”

Dari kejauhan kulihat siluet seorang pemuda, rambutnya hitam pendek dan lebih tinggi dariku. Wajahnya unik dan menarik, tak pernah kuhiraukan sebelumnya.

”Alex? Jadi kau anaknya Pak Hasan?”

”I..Iya. Ternyata orang tua kitorang saling kenal ya?” jawab Alex kikuk. Kulihat dari sudut mata Pak Hasan mengedipkan sebelah mata pada Alex. Apa maksudnya ini?

”Eh bu, dek, kita beli es buah dulu ya di sana! Buat cemilan sambil melihat kembang api sebentar lagi. Pak Dirman mau ikut?” ajak Pak Hasan sambil beranjak.

”Pak, aku juga mau ikut!” pinta Alex.

”Tak perlu, nanti kitorang belikan. Korang di sini saja, ya, Alex dan Ajeng. Nanti tempat ini diambil orang.”

Mereka berempatpun melenggang pergi, meninggalkan aku dan Alex berdua saja. Aku mencium sesuatu yang mencurigakan, sepertinya mereka sudah sekongkol!

”Ngg Ajeng?”

”Iya? Aneh banget ya mereka semua tiba-tiba pergi. Padahal kan sebentar lagi pesta kembang apinya sudah mau dimulai.” ucapku sambul melirik jam tangan yang melingkari tangan kananku. Jam tangan yang menyebabkan pertemuanku dengan Alex. Jarum pendeknya menunjukkan angka dua belas, sedangkan jarum panjangnya menunjuk angka sebelas.

”Ajeng, kamu masih marah dengan Gunardi?”
”Sudah tidak, ku sudah memaafkannya. Walau masih ada rasa kesal dan bingung, mengapa ada orang yang setega itu mempermainkan perasaanku,” tak terasa air mata itu jatuh lagi. Terkenang peristiwa itu membuatku sedih.

”Hei! Jangan menangis seperti ini! Bisa-bisa aku yang ditimpuki lantaran dikira buat kau menangis! Ayo, ikut!”

Genggaman Alex yang mantap menyejukanku. Entah mengapa aku mau saja digiringnya menuju satu sudut pantai yang cukup sepi. Kami duduk bersisian di atas Tembok Berlin. Sejenak sepi menyelimti hingga aku angkat suara.

”Mungkin aku memang tak pantas untuknya.”

”Ajeng! Dia yang tak pantas untukmu! Jangan sekali-kali kau berpikiran seperti itu! Tenang Ajeng, masih ada lelaki yang benar-benar menaruh kasih kepadamu. Seperti..” Alex tercekat.

”Seperti apa?”

”Seperti aku.”

Ledakkan kembang api memecah penuh warna, menelan kegelapan yang sedari tadi menguasai langit malam. Seiring dengan suasana hatiku. Hatiku yang dulu kelam, sunyi, sepi, kini mendadak dipenuhi warna-warni. Hangat.

”Ini penembakkan nih?” tanyaku ragu-ragu. Aku tidak pernah ditembak sebelumnya, jadi aku tidak tahu seperti apa rasanya. Kini, penembakkan pertamaku malah terjadi di tepi pantai yang sangat indah dan romantis, di tengah perayaan tahun baru, lagi! Kembang api yang membuncah menambah keromantisan suasana, seakan-akan alam sudah mengaturnya untuk kami.

”Bukan, ini baru penembakkan.”

Tiba-tiba Alex melompat turun, lalu berlutut di depanku. Sejurus kemudian, tangan kananku sudah berada dalam genggamannya.

”Ajeng, maukah kau menjadi hadiah terindah bagiku di tahun baru ini?”

Aku melompat turun, melepaskan genggamannya. Kulihat ada binar kecewa di mata Alex, membuatku tersenyum kecil.

”Aku akan bilang ya kalau... kamu berhasil menangkapku!”


Aku berlari menembus angin darat yang tengah menyapa laut. Dingin. Namun hatiku tetap hangat. Karena kutahu, Alex ada tepat di belakangku. Lebih tepatnya lagi, Alex sudah berhasil mengambil tempat di hatiku.

Gugur Salju di Giethoorn

Aku mengalungkan kamera DSLR hitamku di leher seraya memikul ransel merah muda kesayanganku. Dari saku kanan celana jeans, kukeluarkan sebentuk notes berisi check list. Untuk mengecek barang-barang bawaanku, seperti biasa. Kamera, check! Bekal, pasti! Laptop, yup! Nametag… ya ampun! Aku lupa mencetak nametag-ku!

Buru-buru aku menyalakan laptop dan membuka email dari Amsterdam Street Photographer Community yang berisi soft file nametag-ku. Dasar Kinanty! Untung saja masih ada satu jam lagi sebelum bus nomor 70 yang menuju Giethoorn itu berangkat. Jangan sampai aku ketinggalan program day trip pertamaku ini. Bikin malu saja.

Ya, ini adalah pengalaman traveling pertamaku. Mendengar kawan-kawan yang sering backpacker-an di kampus lama-lama membuatku iri juga. Akhirnya berbekal kamera DSLR hadiah ulang tahunku dua tahun silam, aku nekat bilang ya saat di ajak Sonya traveling sekaligus berburu foto-foto cantik bersama kawan-kawan anggota ASPC tempatnya bergabung. Jadilah Sabtu pagi ini bukannya malas-malasan sambil blogging seperti biasanya, aku malah bangun pagi dan menyetting kameraku. Jalan-jalan ke Venice van Holland, yippie!

Setelah berpamitan dengan orang tua asuh tempatku tinggal selama di Belanda, aku naik sepeda menuju stasiun utama di Amsterdam. Dinginnya udara dan satu-dua salju yang melayang jatuh tak menyurutkan kayuhan kakiku. Gumpalan putih itu ada di mana-mana, menandakan bulan Desember telah tiba. Lebih dari itu, hari ini tanggal 31 Desember. Kau tahu artinya kan? Malam tahun baru! 

Sehabis traveling, sudah kuputuskan akan menginap di Hotel de Harmonie yang terletak di Giethoorn, sekamar dengan Sonya.

Tiba-tiba kurasakan getaran dari saku kiri celanaku. Rupanya Sonya mengirim SMS.

‘Waar zit je?! Schiet op!(1)’

Aku tersenyum kecil dan membalasnya santai.

‘Ik ben op mijn manier. Kijken naar de sneeuw valt op de grond. Voortreffelijk.(2)’

Sonya pasti mencak-mencak membaca balasanku, aku bisa membayangkan wajahnya yang putih kini memerah, kepalanya dengan rambut pirang berombak itu ditumbuhi sepasang tanduk dan telinganya mulai mengeluarkan asap putih…. Oke, oke. Aku memang lebay.

Sampailah aku di Amsterdam Central Station. Dengan menumpangi kereta, aku menuju Zwolle. Memandangi putihnya salju dari balik jendela kereta, ponselku kembali bergetar. Ya, Sonya lagi.

'Ik ben serieus! De helft van de groep al aanwezig. Je moet snel zijn als je niet wilt worden gelaten!(3)’

Kubalas SMS itu cepat, menyatakan bahwa aku tengah naik kereta yang ditarik rusa-rusa milik Sinterklas dengan kecepatan cahaya.

Aku sampai di Zwolle dengan utuh. Kini aku harus menyambung shuttle bus antar stasiun, lalu menyambung lagi dengan bus nomor 70 yang akan mengantarku ke meeting point. Tak kusangka pengalaman pertama travelling-ku selancar ini!

Duduk di stasiun, membiarkan angin membelai rambut hitam sebahuku, membuat memori  masa kecilku terputar lagi. Aku menontonnya dalam pikiranku, seolah layar lebar terpampang jelas dihadapanku. Teringat akan Mama dan Papa, Rudi kakakku dan tunangannya Tiara. Tak terasa sudah dua tahun kami tidak bertatap muka. Bagaimana kabar mereka? Aku harus menelpon mereka tahun baru nanti. Ingatanku melompat lebih jauh, ke masa-masa ketika aku masih berbalutkan seragam putih biru. Satu nama melintas di otakku. Kolki.

“Kolki, aku dengar kamu mau ngelanjutin sekolah di luar negeri ya?” aku bertanya hari itu, seusai upacara pelepasan murid-murid kelas tiga. Hatiku sangat sedih, mengingat aku diam-diam menyimpan rasa padanya selama tiga tahun ini. Dia Kolki, lelaki pertama yang membuatku mengecap manisnya rasa jatuh cinta. Sayang aku terlalu kolot, membiarkan rasa itu tumbuh tanpa memberi pertanda sedikitpun padanya. Berharap Kolki membaca pikirannku, menerjemahkan perasaanku, dan lebih dulu menyatakan cinta padaku. Namun saat itu tak kunjung tiba, malah sahabatku sendiri Hyena yang berani menembak Kolki. Ya, mereka menjalin hubungan pada akhirnya.

“Ya. Kau tahu kan kakekku tinggal di Belanda, bukan? Ia ingin aku tinggal bersamanya. Orang tuaku setuju, apalagi masa depanku lebih cerah jika bisa meraih gelar sarjana di sana,” Kolki menjawab panjang, jelas, formal. Tak seperti biasanya. Aku berharap dia akan menggodaku seperti   ‘Jangan rindukan aku ya, fans terbesar dan terberatku!’ atau ‘Tentu, susul aku kalau kau bisa!’

Brmmmm…..

Deru bis membuyarkan lamunanku. Tunggu dulu, deru bis? Benar saja, bis hijau dengan aksen biru itu sudah melaju menjauh, semakin lama semakin mengecil. Itu bis nomor 70 yang sedang kutunggu!

“Wacht op mij!!(4)”

Aku berlari mengejarnya. Percuma saja, hanya gulungan asap putih yang kudapatkan. Terpaksa aku harus menunggu bis berikutnya.

“Sorry, wanneer de volgende bus zal aankomen bestemming Giethoorn?(5)”

Tanyaku putus asa pada petugas yang ada di sekitar halte.

“Een uur.”

Een uur? Satu jam? Seketika aku langsung lemas. Ponselku bergetar lagi untuk ketiga kalinya hari ini.

‘Je niet waar, Kinan?(6)’

‘Uh, Sonya, Ik heb de bus gemist. Ik heb nog een uur. Het lijkt alsof je moet vertrekken. Gaan.(7)’

‘Wat, Kinan?! Umm, ziet eruit alsof je om alleen te reizen. We ontmoetten in het hotel later.(8)’

Akhirnya perjalanan yang kukira lancar jaya mulus tanpa hambatan malah berakhir seperti ini. Ya sudahlah, solo travelling juga tak terlalu buruk. Akupun sampai satu jam kemudian dan membeli tiket bis air untuk menyusuri kanal-kanal yang mulai membeku. Oh ya, apa aku belum bilang kalau hampir tidak ada jalan darat di sini? Jalan-jalan kecil hanya diperuntukan bagi pejalan kaki dan pengguna sepeda, sedangkan jalan utama di sini adalah lewat jalur air. Itulah yang membuat Giethoorn mendapat julukan Venice van Holland.





Memandangi pepohonan memutih tertutup salju serta rumah-rumah tradisional membuatku terlena. Di kiri dan kanan sungai, kau akan menumukan puluhan rumah yang mirip dengan penggambaran dalam dongeng-dongeng. Bagian depannya terbuat dari bata, sedangkan bagian belakangnya terbuat dari kayu. Berdasarkan browsing di internet semalam, aku mengetahui bahwa dinas kota sudah menetapkan standar ketetapan membangun rumah di sana demi menjaga citra Giethoorn itu sendiri.



Beberapa foto apik berhasil kubidik dari bis air ini. Hmm, akan kupamerkan pada Sonya nanti! Sambil menikmati pemandangan, aku mulai menyenandungkan sebuah lagu favoritku, Ada Cinta.

Mengapa berat ungkapkan cinta, padahal ia ada
Dalam rinai hujan, dalam terang bulan, juga dalam sedu sedan
Mengapa sulit mengaku cinta, padahal ia terasa
Dalam rindu dendam, hening malam
Cinta terasa ada

Tak terasa air mataku menitik. Aku memang selalu teringat pada Kolki jika mendendangkan lagu ini. Sepertinya suara cemprengku terlalu keras, buktinya kini pria yang duduk di depanku tengah menatap kearahku. Rambut pendeknya yang kecoklatan membingkai wajah putih berbintik merah itu. Cukup tampan. Tapi, jika rambut coklat itu kubayangkan berwarna hitam, dan bintik merah itu kuhilangkan, rasanya aku mengenalinya.

“Hmm, are you Indonesian?”

“Yes. And you..”

“Aku juga orang Indonesia! Wah senangnya bertemu orang Indonesia di sini!”

Apa? Dia juga orang Indonesia? Berarti dia mengerti dong apa yang tadi kunyanyikan? Kurasakan aliran darah mengumpul di pipiku. Uh, aku malu, apalagi pakai acara nangis segala!

“Uh oh. Ya, aku juga. Ngomong-ngomong aku Kinan, Kinanty Hemandi,” ujarku sambil mengulurkan tangan.

"Kinan? Is this really you?”

Aku mengrenyitkan dahi. Kepingan puzzle itu mulai tersusun dalam benakku.

“Kolki?” aku bertanya penuh harap.

Nope. Kau salah orang.”

Hampir saja aku tertipu kalau tak ku lihat sorot mata jenaka itu. Sorot mata yang selama ini membayangi mimpi terliarku. Ups, jangan berpikiran yang aneh-aneh ya. Mimpiku sebatas berpegangan tangan sambil berjalan-jalan di sebuah taman dengannya. Itu saja.

“Kau kira bisa menipuku, hah? Sejak kapan rambutmu menjadi coklat? Lalu bintik-bintik merah itu?”

“Ya, aku baru saja menjadi objek percobaan penemuan baru bernama cat rambut. Dan soal bintik ini, pernahkah kau mendengar sebuah penyakit akut mematikan bernama jerawat? Aku mengidapnya.”

“Huh! Iya aku tahu itu cat rambut kok, aku hanya mengetes saja. Jerawat? Dasar jorok! Aku tidak pernah tuh berkenalan dengan yang namanya jerawat.”

“Masa? Bagaimana dengan tonjolan merah di hidungmu, saat kita kemping pramuka di sekolah delapan lalu? Saat kita kelas satu SMP?”

Wajahku memerah, malu.

“Kau masih ingat?”

Tak pernah kusangka Kolki juga memperhatikanku, bahkan hingga ke detail terkecil seperti itu. Kulihat ia tertegun sejenak, lalu salah tingkah. Pipinya yang bertabur bintik merah tambah memerah. Mungkinkah ia… malu? Kolki beranjak dan duduk di sebelahku yang kosong. Bis air itu agak limbung saat ia berpindah.

“Umm, ya. Mengingatkanku betapa joroknya dirimu dulu.”

“Jadi sekarang aku bersih?” aku menggodanya. Reaksinya tak seperti dugaanku, bukannya membantah ia malah mengangguk malu. Ada apa ini?

“Oh ya, bagaimana kabar Hyena?”

Ah, sial! Dasar Kinan bodoh, bodoh, bodoh! Malah merusak suasana sebagus ini. Kapan lagi bisa duduk di sebelah Kolki, dikelilingi pemandangan menakjubkan sebuah kota apung cantik seperti ini?

“Itu kan sudah lima tahun yang lalu. Kami sudah berpisah baik-baik sejak keberangkatanku ke Belanda. Ngg, jujur saja sebenarnya aku menerima Hyena karena tak tega menolaknya.”
Loh, loh, mengapa ia menceritakannya padaku yang bukan siapa-siapanya? Aku kebingungan, namun berusaha tampil biasa saja. Sama seperti dulu ketika aku menyembuyikan perasaanku selama bertahun-tahun.

Perlahan bis air yang kami tumpangi berhenti. Telah tiba di halte terakhir rupanya. Uh, benar-benar saat yang tidak tepat! Sang supir sudah menuruni singgasananya, seiring dengan penumpang terakhir yang satu per satu mulai turun. Tiba-tiba saja Kolki berlari mengejar sang supir, meninggalkanku duduk sendiri di atas bis air ini. Kuperhatikan dari jauh, Kolki terlibat perbincangan serius, lalu Kolki menyerahkan beberapa lembar Euro, dan kembali dengan wajah jahil.

“Kolki! Jangan bilang kalau kamu tadi…”

“Menyewa bis ini seharian penuh untuk kita berdua! Tepat sekali, nona!”

Aku tertegun. Teringat pengalaman yang mirip dengan ini empat tahun silam, ketika Kolki menyewa becak dan mengantarku keliling kota Bekasi sepanjang sore. Waktu itu ia kalah peringkat di kelas dariku, ia peringkat tiga sedangkan aku peringkat dua. Kami telah membuat kesepakatan, yang kalah akan menuruti segala keinginan sang pemenang. Aku senang sekali mengerjainya kala itu. Tapi akhirnya, Kolki sakit karena kelelahan. Selama liburan kenaikan kelas, bolak-balik aku menjenguk Kolki. Hampir satu minggu ia terkapar, ternyata ia memang tidak boleh kelelahan. Kolki bodoh, ia kan bisa saja mengatakannya padaku sehingga tidak membuatku merasa bersalah.
Kolki kini duduk di singgasana sang supir bis. Aku duduk di sebelahnya.

“Sebaiknya kau mulai mempertimbangkan profesi ini, Kolki. Kau tampak cocok sekali!” aku mengejeknya sepenuh hati. Sudah lama kami tidak bertukar ejekan seperti ini.

“Sepertinya matamu sudah perlu diperiksa. Tidakkah menurutmu aku terlalu tampan untuk menjadi supir bis?”

Ya, kau memang terlalu tampan untuk menjadi supir bis. Kau cocoknya menjadi suamiku!

“Cih, cerminpun tak mampu merefleksikan dirimu, saking jeleknya!”
Kami tertawa terbahak-bahak mendengar betapa noraknya banyolan kami sendiri. Hmm, Kolki, aku tak tahu bahwa cinta itu penuh bahan pengawet. Rasa cintaku ternyata belum terhapus setelah terpisah bertahun-tahun. Andai aku berani untuk mengungkapkannya.

Crash!

Rupanya bis air yang sedang dikendarai Kolki menabrak kristal es kecil hasil membekunya sungai. Untung saja kami tidak tenggelam seperti kisah Titanic. Kubayangkan aku menjadi Rose, sedangkan Kolki menjadi Jack.

“Fiuh, untung bis ini tidak terbelah dua. Kalau tidak, kita akan melanjutkan jejak Titanic! Nanti kita buat film, judulnya Titanic 2. Tapi agak konyol juga tenggelam di sungai dengan kedalaman hanya satu meter,” celoteh Kolki riang.

“Oh ya kulihat tadi kamu memfoto pemandangan sekitar, kamu lagi travelling? Kok sendiri?”

Ah! Hampir saja aku melupakan tujuanku ke sini. Kulirik jam tangan yang melingkari tangan kananku. Pukul enam lebih lima belas menit. Pasti Sonya sudah menantiku di hotel.

“Aku seharusnya bersama rombonganku, tapi tadi aku ketinggalan bis sehingga harus solo travelling. Kolki, aku ingin sekali menyusuri kanal bersamamu tapi temanku pasti sudah menungguku di hotel,” kataku dengan penuh penyesalan.

“Harusnya tadi aku tidak usah bertanya ya? Kirimi saja temanmu itu pesan, bilang kau datang agak terlambat.”

Benar juga, aku merogoh sakuku. Uh, ponselku kehabisan baterai. Pantas saja dari tadi tidak ada celotehan Sonya.

“Baterai ponselku habis. Apa kau bawa ponsel?”

“Tidak, sepertinya kita sudah ditakdirkan terjebak di sini.”

Malam itu, kami menyusuri kanal sambil bernostalgia. Aku menguap, rupanya sudah hampir tengah malam.

“Kinan, bagaimana jika kukatakan aku menyukaimu sejak dulu, tapi tidak berani mengatakannya?”
Aku terbungkam. Sepi menyelimuti kami selama beberapa menit.

“Mengapa baru kau katakan sekarang?”

“Aku terus mengulur waktu. Aku katakan pada diriku sendiri, bila aku bertemu denganmu lagi sebelum tahun 2013 berakhir, aku akan mengatakannya padamu. Awalnya kukira itu mustahil, namun rupanya Tuhan berkata lain. Jadi?”

“Aku akan bilang ya jika kita bisa melihat kembang api sekarang.”

“Kau beruntung”

Dari ranselnya, Kolki mengeluarkan sebentuk bungkusan yang kukenali sebagai kembang api. Lalu ia mulai membakarnya dengan korek api yang sudah ia persiapkan. Kembang api menghiasi langit malam, menelan kegelapan yang sedari tadi menyelimuti langit.

“Kau gila Kolki! Ngomong-ngomong, kenapa kau bisa bawa kembang api?”

“Aku tahu kau suka sekali menonton kembang api. Asal kau tahu, aku selalu membawanya setiap tahun baru, berharap bisa menunjukkannya kepadamu. Tak kusangka ini menjadi tiket mendapatkan jawaban ‘ya’ darimu. Jadi?”

Aku mengangguk. Lembar pertama dari buku setebal 365 halaman dalam hidupku tak pernah seindah ini.

Words: 2,013


Special to #CintaDalam2013Kata

(1): Kau ada di mana? Cepat!
(2): Aku sedang dalam perjalanan. Memandangi salju yang gugur ke tanah. Sungguh indah.
(3): Aku serius! Separuh rombongan sudah tiba. Kamu sebaiknya cepat kalau tidak mau ditinggal.
(4): Tunggu aku!
(5): Maaf, kapan bis berikutnya yang menuju Giethoorn tiba?
(6): Kamu ada di mana, Kinan?
(7): Uh, Sonya, aku ketinggalan bis. Aku baru tiba satu jam lagi. Sepertinya kalian harus meninggalkanku. Pergilah.
(8): Apa, Kinan? Um, sepertinya kamu harus travelling sendiri. Kita bertemu nanti di hotel.

 

Celoteh si Devi Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang

Blogger Templates